23-10-2022
Brutalisme, mudahnya adalah: the practice or exercise of brutality.[1] Brutal merupakan serapan dari bahasa asing. Brutal dekat dengan pengertian-pengertian bestial, unintelligent, unreasoning, cruel, inhuman, unfeeling.[2] Dalam ranah olah-kuasa, brutalitas tercatat di banyak sejarah di bermacam tempat. Tetapi jika memakai pembedaan power oleh Alvin Toffler, bagaimana dengan brutalitas di ranah kekuatan pengetahuan, kekuatan uang, dan kekuatan kekerasan? Bukankah brutalitas itu tidak hanya ada di ranah kekuatan kekerasan?
Mengapa brutalitas ini dibahas? Karena kita tidak mau tiba-tiba saja sudah masuk dalam kepengapan banality of evil-nya Hannah Arendt itu. Dalam hal ini, tiba-tiba saja ke-brutal-an itu sudah menjadi banal. Bagaimana jika korupsi misalnya, sungguh sebenarnya sudah berlangsung secara brutal? Bagaimana jika triliun-an rupiah, milyar dollar AS, dalam setahunnya anggaran negara itu mengalami kebocoran, melalui bermacam rutenya? Bukankah itu suatu kebrutalan yang telanjang? Belum lagi soal dikemplangnya bermacam kekayaan alam yang semestinya dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Ngemplangnya tidak main-main, brutal. Atau lihat juga brutal-nya para pollsterRp itu dalam mempermainkan kaidah-kaidah sains. Levelnya sudah the lower animals.[3] Juga polah-pongahnya para buzzerRp itu. Atau juga yang sudah keranjingan tipu-sana-tipu-sini. Tanpa-beban-tanpa-sadar sebenarnya sudah masuk pada sebuah kebrutalan. Gegayaan, sok-sok-sok-an, sok kesal, sok geram, sok marah, dan seterusnya. Tak tahu batas. Kebrutalan klaim yang sudah tak tahu malu lagi. Asal mangap, asal njeplak, asal heboh. Alih isu yang sudah menjadi brutal. Atau kebrutalan dalam menjungkir-balikkan fakta-fakta. Di ranah kekuatan kekerasan? Terlalu banyak contoh bagaimana kategori brutal bisa dengan serta-merta disematkan.
Kenapa dalam olah-kuasa manusia bisa melahirkan kebrutalannya? Nampaknya paling tidak ada dua hal –di luar lemahnya mekanisme ‘hasrat vs hasrat’, dan itu terutama adalah soal ‘legitimasi’. Yang kedua, kadang ditambah dengan adanya Plan-B. Kebrutalan Nazi adalah lebih soal ‘legitimasi’, seakan sedang mengemban ‘tugas suci’ saja. Yang dalam praktek ‘manusia-dengan-kesadaran-temaram’ –twilight state a la Hermann Broch, semakin menjauhkan dari kemauan dan kemampuan ‘discomfort of thought’. Menjadi malas berpikir. Dan ke-tidak-berpikiran itu adalah ladang subur dari banality of evil. Atau menurut Freire, yang sudah tidak terlalu disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan dasar tetapi tidak beranjak juga membangun kesadaran kritisnya, mempunyai potensi besar jatuh dalam fanatisme, terutama di kota-kota besar. Dan ujungnya adalah, enteng-enteng saja menjadi brutal. Atau kebrutalan bom bunuh diri yang membuuat orang-orang tak bersalah ikut menjadi korban. Pasti bermacam pembenaran ada dari aksi mbèlgèdès itu. Dan juga Plan-B-nya, masuk surga misalnya. Atau dikubur di ‘taman makam pahlawan’. Atau brutalitas yang sudah di depan bibir jurang banalitas seperti contoh di atas, mungkinkah itu merebak karena ada yang seolah sedang menjalankan ‘tugas suci’-nya? Atau juga sebenarnya soal mengeruk-uang, merampas-kekayaan-republik, soal ‘Machiavelli menumpuk harta’ yang juga sudah sedemikian brutal-nya itu? Kebrutalan yang memperanak kebrutalan lagi. Bagi sebagian nampaknya karena ada juga Plan-B-nya, bukan ‘surga’ tetapi ‘neraka’, republik masuk dalam ‘neraka-pecah-belah’. Neraka, karena ketika pecah-belah sampai di puncaknya, pasti tidak akan melalui jalan damai. Jalan perang, perang saudara. Rusia sudah memberikan contoh bagaimana invasi untuk ‘menyelamatkan’ warga berbahasa Rusia di Ukraina itu berujung di-aneksinya sekitar 15% wilayah Ukraina. Berapa pulau akan lepas dari republik jika pecah-belah itu sampai di puncaknya? Atau ketika sampai di tahap akhir dari Perang Modern yang sering disinggung oleh Ryamizard Ryacudu, invasi/penguasaan itu? *** (23-10-2022)
[1] https://www.etymonline.com/
word/brutalism#etymonline_v_53073
[2] https://www.etymonline.com
/word/brutal
[3] Ibid