14-10-2022
"A pure democracy may possibly do, when patriotism is the ruling passion; but when the State abounds with rascals, as is the case with too many at this day, you must suppress a little of that popular spirit." (Surat Edward Rutledge ke John Jay, 24 November 1776)[1]
Pada satu episode SpongBob SquarePants, diceritakan Squidward Tentacles ‘terjatuh’ dalam ‘ruang’ dengan latar-belakang serba putih. Tanpa sudut. Tidak ada dinding sama sekali, hanya saja ketika dia loncat, ‘lantai’ serba putih itu melengkung, kayak ambles. Latar-belakang serba putih itu pertama-tama ‘disambut’ gembira oleh Squidward. Tidak ada siapa-siapa selain dia sendirian sehingga ia bisa sebebas-bebasnya main clarinet kesayangannya. Tetapi lama-lama ia merasa gundah, takut, atau apalah mau dikata, di tengah kesendirian di ‘ruang’ putih yang seakan tanpa ujung itu. Mungkin akan seperti itulah jika horison tidak hadir dalam hidup kita. Horison hadir seakan membatasi ruang hidup kita, tetapi sekaligus memberitahu kita bahwa di balik horison itu ada ketidak-terbatasan kemungkinan. Dengan adanya horison maka seakan kita bisa ‘membangun dunia’ kita, dan dengan itu pula kemungkinan-kemungkinan untuk sebuah kemajuan menjadi lebih dimungkinkan. Bagi Van Peursen, horison juga merupakan ‘room for progress’. Adanya horison maka penghayatan kita akan ‘dunia’ tempat kita hidup akan menjadi berbeda.
Apa yang ditulis oleh Rutledge di awal tulisan adalah soal horison yang mesti ada dalam demokrasi: patriotisme. Bicara soal patriotisme tidak usah langsung dikait-kaitkan dengan chauvinisme, ataupun globalisasi. Toh adanya makhluk asing dari dimensi lain itu belum jadi realitas bersama. Tetapi meski begitu soal globalisasi misalnya, mestilah juga dipertimbangkan dengan serius dalam prakteknya. Juga chauvinisme itu, terlebih katakanlah, potensi chauvinisme antar ‘faksi’. Patriotisme adalah kecintaan pada tanah air dengan segala isinya, terutama pada manusia-manusia yang hidup di dalamnya –tak terkecuali. Dalam horison patriotisme itulah kemajuan diupayakan. Kemajuan dan juga kesalahan atau bahkan kemunduran dari pendahulu harus menjadi titik pijak dalam mengupayakan kemajuan ke depannya bagi hidup bersama. Selain juga tentu bermacam tantangan-tantangan yang berkembang juga.
Patriotisme itu sebaiknya dihayati sebagai keutamaan (virtue), menjadi hal-hal utama sebagai daya dorong dalam sebuah tindakan. Hal-hal utama yang layak dikejar. Ketika patriotisme itu menjadi keutamaan, sebenarnya hal chauvinisme atau ‘masuk dalam jebakan globalisasi’ atau ‘kontra-total’-nya itu akan menyingkir dengan sendirinya. ‘Bablasan’ keutamaan akan menjadi bukan keutamaan lagi. Keutamaan jelas akan melibatkan timbang-menimbang, sepertihalnya etika. Hanya saja etika akan terlibat dalam keputusan-keputusan (praktis) etis. Maka bisa dikatakan, patriotisme itu adalah juga sebuah ‘elan vital’ dalam membuat keputusan-keputusan etis. Keputusan-keputusan yang pada titik tertentu bukan pilihan antara baik dan buruk lagi, tetapi misalnya antara baik dan benar.
Patriotisme sebagai keutamaan hanya bisa menampakkan diri dalam tindakan. Demikian juga soal etika. Tindakan dengan tujuan apa? Dalam gambar besarnya, tindakan seperti disebut dalam Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4, (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) melaksanakan ketertiban dunia. Dalam alinea ke-4 itu maka jelas pertama-tama ke-empat hal di atas adalah tanggung jawab pemerintah negara Indonesia. Itulah pekerjaan utama pengelola negara (pemerintah) setelah negara Indonesia berdasarkan ke-lima sila di akhir alinea 4 –yang biasa kita kenal sebagai Pancasila, disepakati.
Maka patriotisme itu kemudian tidak hanya soal (1) melindungi, tetapi juga (2) memajukan kesejahteraan, (3) mencerdaskan, dan (4) melaksanakan tertib dunia seperti disebut di atas. Diantara diri dan batas horison, ke-empat hal tersebut kemudian mempunyai ruang untuk terus dimajukan. Ketika dalam memajukan ke-empat hal tersebut tentu disana-sini akan bertemu bermacam pilihan, dan dalam hal itulah etika akan mengambil peran pentingnya.
“The first principle of Economiccs is that every agent is actuated only by self interest,” demikian pendapat FY Edgeworth (1845-1926), ahli ekonomi Inggris sebagai contoh kritik Amartya Sen. Dalam pandangan neoliberalisme, pasar bukanlah bagian dari masyarakat, tetapi masyarakatlah yang merupakan bagian dari pasar. Sehingga semua segi kehidupan-pun harus ‘tunduk’ dalam hukum-hukum pasar. Dan dalam pasar, tindakan yang rasional itu adalah pengejaran kepentingan diri (self interest). Dengan argumentasi yang ketat, Sen menunjukkan bahwa yang rasional itu tidak hanya pengejaran kepentingan diri, tetapi juga soal komitmen. Sen notes that real choices don't reflect the maximizing logic associated with rational choice theory: "Choice may reflect a compromise among a variety of considerations of which personal welfare may be just one" (324). Here he argues for the importance of "commitments" in our deliberations about reasons for action. Acting on the basis of commitment is choosing to do something that leads to an outcome that we don't subjectively prefer; it is acting in a way that reflects the fact that our actions are not solely driven by egoistic choice. "Commitments" are other-regarding considerations that come into the choices that individuals make.[2]
Apa yang mau ditunjukan di sini melalui argumentasi Amartya Sen di atas adalah bahwa patriotisme sebagai keutamaan itu jelas dimungkinkan. Di rimba gejolak pengejaran kepentingan diri, komitmen bukanlah pilihan yang ‘tidak rasional’. Dan juga dari apa-apa yang ada di Pembukaan UUD 1945, alinea 4 seperti disebut di atas, ‘memajukan kesejahteraan umum’ dan ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ misalnya, tegas disebut pemerintah negara Indonesia ikut bertanggung jawab. Tidak semata terus diambil alih pasar secara ‘membabi-buta’. Bertahun terakhir ini, ketika ranah politik negara terlalu banyak yang maju di depan adalah pengejaran kepentingan diri, rasa-rasanya ruang demokrasi kemudian disesaki oleh kaum rascals saja. Tidak punya horison patriotisme sama sekali. Bacot doang. Juga seakan menjadi terlalu biasa kita disuguhi oleh bermacam (pilihan) perilaku yang jauh dari etika. Berangasan, pecicilan, petentang-petenteng, asal njeplak, semau-maunya, tidak ada empati-nya, nggak punya etika lagi. *** (14-10-2022)
[1] https://digital.lib.niu.edu/islan
dora/object/niu-amarch%3A90358
[2] https://understandingsociety.
blogspot.com/2012/03/amartya-sens-commitments.html