11-10-2022
Albert Camus membuka Introduction dalam The Rebel, An Essay on Man in Revolt (1951) dengan kata-kata menarik: “There are crimes of passion and crimes of logic. The boundary between them is not clearly defined.” Camus hidup dan besar dengan menyaksikan bagaimana bermacam ‘ide’ itu justru di ujungnya manusia-manusialah yang terbunuh. Tergeletak bersimbah darah atau masuk terperangkap dalam ruang gas, holocaust. Apakah kejahatan logika ini bisa begitu merebak karena manusia is essentially a story-telling animal seperti dikatakan oleh Alasdair MacIntyre?
Realitas Sinterklas bagi anak-anak akan berbeda dengan remaja, apalagi dibandingkan dengan orang dewasa. Realitas berbeda dengan fakta-fakta yang sebenarnya, atau katakanlah ‘yang real’. Maka dalam bermacam peristiwa kadang kemudian dibentuk tim pencari fakta, karena realitas antara satu dengan yang lain akan berbeda. Bagi yang satu, realitas-nya adalah soal tangga dan pintu, tetapi bagi yang lain realitas-nya adalah soal kemanusiaan yang sungguh menyedihkan. Apakah anak-anak itu salah ketika menghayati Sinterklas, misalnya, sebagai sebuah realitas? Seiring dengan bertambahnya usia, bertambahnya juga teman-teman peer groupnya, dan juga dari bermacam cerita dst, sosok Sinterklas itu semakin jelas ketika bermacam cerita yang melingkupinya satu per satu mulai jelas, mulai bisa ‘disingkirkan’ lapis demi lapis. ‘Kebenaran tentang Sinterklas’ semakin menampakkan diri, the truth of disclosure. Itu dongeng untuk anak-anak, dengan segala pernak-pernik ikutannya. Anak-anak menghayati Sinterklas dengan horisonnya sendiri-sendiri, demikian juga ketika horison terus dimajukan –sadar atau tidak, saat remaja Sinterklas itu serasa sudah lain dalam menampakkan dirinya. ‘Keterarahan’ kesadaran kita-pun sudah lain pula. Maka tidak salah-salah amat jika kemudian ada yang menghayati kemajuan itu sebagai juga ‘memajukan horison’, meluasnya horison.
Ataukah realitas itu adalah hal-hal yang bisa dibuktikan secara obyektif, melalui prosedur-metode ilmiah, katakanlah, the truth of correctness? Ataukah istilah kampus supaya hati-hati sehingga tidak menjadi ‘menara gading’ itu memang ada tidak di ruang kosong? Kampus yang akan lekat dengan the truth of correctness yang ada dalam sebuah masyarakat dengan di sana-sini menghayati realitas dengan the truth of disclosure itu –melalui bermacam imajinasi dan intersubyektivitasnya? Bagaimana jika kemudian the truth of correctness itu ‘menganeksi’ secara sewenang-wenang terhadap the truth of disclosure? Bahkan jika the truth of correctness itu ternyata pada waktu itu hanya berisi klaim-klaim doang?
Bagaimanapun the truth of disclosure itu memerlukan waktu, bukan waktu obyektif, tetapi waktu subyektifnya. Waktu yang sungguh dialami. Sama-sama 15 menit-nya, menunggu di depan ruang operasi ketika seorang sanak-keluarga dioperasi, akan berbeda ketika ngobrol-gayeng dengan sahabat. Ternyata waktu bisa ‘mulur-mungkret’ juga. Untuk bisa ‘mengalami’-nya kita tidak perlu harus hadir di tempat kejadian. Misal, kita bisa mengobrolkan bagaimana serunya sebuah pertandingan sepakbola, bahkan jika itu baru kick-off nanti malam. Kita tidak perlu harus hadir di Malang untuk bisa merasakan kesedihan tragedi kemanusiaan di Stadion Kunjuruhan. Menyempatkan waktu hadir di sana akan lebih baik sehingga denyut tragedi kemanusiaan akan semakin terasa. Bagi jurnalis misalnya, itu bisa-bisa akan mempengaruhi ‘jiwa’ tulisannya. Atau bagi penggemar sepakbola, tentu akan beda penghayatan saat nonton di dalam stadion dengan yang di depan televisi. Atau nonton sendiri dengan nonton bareng, nobar.
Kembali pada pertanyaan di atas, bagaimana jika the truth of correctness secara sewenang-wenang ‘menganeksi’ the truth of disclosure? Tidak hanya soal tekhnologi misalnya, tetapi juga bermacam ‘ide’ komplit dengan bermacam klaim ‘akurasi’-nya? Dan bayangkan jika itu terjadi pada manusia seperti dikatakan oleh Hermann Broch, manusia yang juga menggendong ‘kesadaran temaram’-nya, twilight state. Dari beberapa hal di atas, sedikit bisa dilihat di sini, bahwa kejahatan logika itu akan semakin besar ketika imajinasi manusia dan kemungkinan inter-subyektifitasnya dihalang-halangi. Dengan imajinasi dan inter-subyektifitas itu, the truth of disclosure akan semakin mungkin terlibat secara timbal-balik dalam memajukan horison. Bahkan the truth of correctnes itu bisa sangat membantu dalam membuka lapis-demi-lapis apa-apa yang menutupi sehingga apa yang menampakkan diri itu semakin jelas, aletheia. Bahkan akan semakin jelas juga bagaimana the crime of passion itu akan semakin menampakkan diri dalam ketelanjangannya. *** (11-10-2022)