06-10-2022
Tujuh tahun lalu, Azyumardi Azra menulis: “Deterioration of public civility in Indonesian society after the New Order was one of the main problems facing this nation.”[1] Delapan-belas tahun lalu, Nota Pastoral KWI juga menandaskan pentingnya keadaban publik, dengan memberikan penekanan pada perlunya membangun habitus baru. Juga disoroti soal tiga poros dalam hidup bersama, masyarakat sipil, pasar, dan negara. Jika Mangunwijaya benar bahwa salah satu faktor penting terkait kualitas hidup bersama adalah bagaimana kekuasaan itu dikelola, maka keadaban publik-pun akan terkait dengan itu pula. Bagaimana soal kekuasaan dikelola. Bagaimana denyut kuasa yang berserakan itu dikelola. Atau kalau memakai pembedaan Alvin Toffler, bagaimana kekuatan uang, kekuatan pengetahuan, dan kekuatan kekerasan itu dikelola.
Keadaban publik akan semakin retak ketika kekuatan pengetahuan lebih mengalir melalui pollsterRp, buzzerRp, manipulasi data, asal njeplak, asal mangap, gegayaan pidato ini-itu yang tidak ada isinya dan hanya omong kosong saja. Keadaban publik akan semakin retak ketika kekuatan uang lebih untuk merawat ruang-ruang gelap di ranah publik. Keadaban publik akan semakin retak ketika kekuatan kekerasan dinampakkan seperti ketika tragedi Kunjuruhan terjadi. Dan masih banyaaaak lagi contoh bisa diajukan mengapa keadaban publik semakin retak ketika tiga kekuatan di atas dikelola secara ugal-ugalan.
Sebagian besar khalayak itu sehari-hari akan disibukkan dengan ‘urusan’-nya sendiri-sendiri. Bukan soal egois atau tidak, tetapi ini pertama-tama adalah soal mempertahankan hidup. Soal hak hidup. Bukan pula kemudian soal ‘anti-sosial’ misalnya. Meski sebagian besar khalayak itu akan disibukan oleh ‘urusan’-nya sendiri, tetapi sadar atau tidak, dalam ‘suasana kebatinan’-nya ia tetaplah merasa sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar dari keluarganya. Kesibukan dalam ‘mengurus diri’ itu sebenarnya tidak bisa dijelaskan lepas dari hidup bersamanya dengan manusia-manusia lain. Apapun bentuk ‘kelekatan’-nya itu. Ke-privatannya itu menjadi ada karena ada soal ke-publikan. Bahkan juga bisa dihayati secara terbalik, ke-publikan itu menjadi ada juga karena ada hal privat. Keretakan keadaban publik juga terjadi ketika ‘publik’ kemudian memperbudak ‘privat’, atau sebaliknya. Apakah ada hal problematik ketika korban kekerasan aparat kemudian ditawari masuk dalam jajaran aparat? Nampaknya ada ‘kesalahan kategoris’ dalam hal ini, seakan-akan masuk-tidaknya seseorang dalam jajaran aparat itu merupakan ‘hak-privat’ petinggi aparat yang bisa ditawar-tawarkan semau-maunya. Atau bagaimana jika ada seorang petinggi kemudian dengan percaya diri mengatakan bahwa tragedi Kunjuruhan beberapa hari lalu itu adalah karena masalah pintu dan tangga? Nampaknya ada ‘kesalahan kategoris’ ganda dalam hal ini, pertama jelas itu adalah soal kekerasan, bukan pintu atau anak tangga. Yang kedua, apakah ‘kategori petinggi’ pada orang itu bukan suatu kesalahan juga?
Keadaban publik itu adalah hal kongkret, karena ia adalah juga sebuah ‘habitat’. Karena manusia berbeda dengan binatang maka habitat dia hidup kemudian di-‘modifikasi’ sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah ‘dunia’. Dunia tidak hanya untuk melanjutkan hidup tetapi juga tempat ia membangun ‘akar’-nya. Masalahnya tidak hanya manusia-kebanyakan yang membangun akar-nya dimana ia hidup, tetapi juga ‘sang-penguasa’. ‘Sang-penguasa’, si-pemegang arche, misalnya akan disibukkan pula bagaimana hirarki yang menempatkan dia ‘di atas’ dapat menemukan habitatnya. Bagaimana misalnya, penguasa kolonial itu kemudian mengembangkan ‘ideologi’ atau mitos lazy native pada yang terjajah dan kemudian menjadi legitimasi bagi laku semau-maunya. Kekuatan pengetahuan yang seakan mem-booster kekuatan kekerasan dan uang, dengan hasil tertindasnya si-terjajah sekaligus dikuras-diangkutnya kekayaan alamnya. Dari banyak contoh di bermacam peristiwa, di bermacam tempat pula, maka dapat dilihat bahwa keretakan keadaban publik itu pertama-tama adalah soal sang-penguasa. Maka tidak mengherankan jika keretakan keadaban publik itu terus berujung di-perbudaknya si-privat, pada titik tertentu ketika si-katalis membayang, perlawananpun akan semakin menguat. Ketika si-privat-privat itu kemudian mampu untuk menegaskan diri. *** (06-10-2022)
[1] https://www.republika.co.id/
berita/nq3b7x/public-civility