28-6-2018
Dalam pembingkaian (framing) George Lakoff membedakan antara deep frame dan surface frame. Deep frame adalah soal rasa-merasa, suasana kebatinan, atau banyak hal yang kadang sulit terungkap tapi terus ngendon dalam bawah sadar, dan ketika ada ‘stimulus’ masuk, tiba-tiba saja banyak hal menjadi ‘logis’. Ruhut Sitompul dan sejenisnya misalnya, dengan lisan atau ‘lisan sekunder’nya yang sungguh sering membuat jengah banyak orang -kalau tidak mau dikatakan menjijikan, juga aksi kutu loncatnya -dan ‘gerombolan’ yang semacam itu, ketika terlalu banyak dan sering muncul di media massa, seakan-akan ‘mendidik’ dan ‘membiasakan’ kita dalam hal rasa-merasa terkait apa itu politik. Jika yang semacam ini diterus-teruskan, deep frame kita soal politik bisa-bisa akan menjadi berasa (taste) bahwa politik itu kotor dan kotornya tanpa batas. Dan ketika ada seseorang yang kemudian dengan entengnya banyak bohong, seakan kita menjadi tidak mampu lagi membangun ‘sangsi sosial’ dan bahkan bisa-bisa mengapresiasi sebagai yang lihai dalam politik. Maka bagi sebagian orang, laku dan lisan orang seperti Ruhut dan sejenisnya itu diperlukan, terlebih bagi komplotan oligarki-pemburu rente, ‘kekotoran’ tanpa batas itu adalah habitat yang paling disukai.
Penggelembungan dan ke-bertubi-tubi-an berita soal blusukan-nya Jokowi dan segala puja-puji-nya dari segala arah itu, suka-tidak-suka pada kurun waktu tertentu telah merubah rasa-merasa banyak dari kita sebagai warga negara. Rasa-merasa terkait dengan bagaimana seharusnya pemimpin negeri ini harus bertindak. Ketika kurun-waktu itu berlangsung dalam ‘waktu-yang-tepat’ terkait dengan pemilihan maka sungguh ia akan mendongkrak elektabilitas. Masalahnya adalah soal rasa-merasa dalam deep frame ini bukanlah hal abadi, karena sebagian besar ia adalah hasil konstruksi. Ketika ‘hubungan produksi’ yang membentuk ‘bangunan atas’ terganggu dengan realitas keseharian, deep frame soal blusukan ini-pun meredup. Dan ketika sok blusukan itu tetap dilakukan, hasilnya adalah sinisme yang muncul, bukan lagi gairah.
George Lakoff dalam beberapa kesempatan menunjukkan bagaimana kelompok think-tank kaum konservatif di AS sana menghabiskan milyaran dollar untuk melakukan studi soal framing-me-framing ini. Hal ini menunjukkan peran penting deep framing maupun surface framing dalam politik. Surface framing adalah kata atau apapun itu yang akan membingkai publik dan ke-efektif-annya sangat tergantung dari deep frame yang berkembang. Deep frame adalah tempat surface frame bergantung.
Manuel Castells dikenal sebagai yang membahas dampak berkembang dan merebaknya tekhnologi informasi pada masyarakat. Masyarakat jaringan (networking society) demikian ia menyebut. Tetapi salah satu buku dari triloginya, berjudul The Power of Identity. Jika salah satu hasrat mendasar manusia adalah bertahan hidup (survival) maka dalam segala cepat dan intens-nya perubahan-perubahan ini, the power of identity adalah sangat wajar menjadi salah satu pilihan dalam ranah survival ini. Dan inilah juga yang mungkin menyebabkan menjelang 2019, ada dua isu mendasar berkembang: ‘politik identitas’ dan membanjirnya TKA dari China. Keduanya sebenarnya bukanlah dua isu yang terpisah tanpa hubungan. Ke-dua-nya saling menguatkan. Karena ke-dua-dua-nya akan dirasakan dalam satu ranah, ranah survival. Dan ke-dua-dua-nya semakin membesar dalam membangun deep frame, menggeser dan menggusur segala rasa-merasa soal blusukan dan sejenisnya. Segala akrobat revolusi mental dan sejenisnya. Dan banyak lagi yang tergeser, sedang tergeser, dan akan tergusur.
Meski surface frame hanya akan efektif jika ia tergantung pada deep frame tetapi itu tidak berarti bahwa surface frame semata satu arah saja. Pada titik tertentu, surface frame akan ‘merawat’ deep frame. Ketika bangunan deep frame yang dibentuk melalui blusukan misalnya, dan sejalan waktu surface frame faktanya semakin hambar dan semakin sulit untuk digantungkan pada deep frame, maka mereduplah bangunan deep frame tersebut. Inilah ‘keblinger’-nya laku ketika over-confindence merasa menguasai media massa terutama televisi dan surat kabar.
Maka deep frame yang terbangun melalui ‘politik identitas’ dan membanjirnya TKA China ini-pun perlu dirawat. Dan salah satu yang efektif dalam merawat ini adalah melalui tatap-muka. Dengan adanya hegemoni media massa (televisi dan surat kabar), tatap muka mau-tidak-mau harus disadari sebagai yang krusial. *** (28-6-2018)