19-6-2018
Burnout syndrome mulai dikenal sekitar 40 tahun lalu di AS, terkait dengan dunia kerja. Karena beban kerja terlalu berat yang terus menerus maka mulailah muncul kelelahan yang cenderung kronis pula. Jika ini tidak bisa diatasi maka akibat selanjutnya adalah mengarah pada sindrom burnout itu, dari menurunnya aktivitas bahkan sampai harus mengundurkan diri dari pekerjaan, reaksi emosi seperti tambah reaktif, sinis, dan perasaan negatif, sampai dengan penurunan kreatifitas, motivasi dan bahkan fungsi kognitif. Kadang juga sampai menjadi lebih penyendiri, sulit tidur, dan macam-macam gangguan fisik seperti gangguan pencernaan, tekanan darah, dan ujung paling ekstrem, ancaman bunuh diri.
Pada kesempatan liburan panjang peserta didik di sekolah, adalah waktu yang tepat untuk melakukan refleksi terhadap praksis pendidikan kita. Salah satunya di sini, adakah sindrom burnout ini dalam dunia pendidikan kita? Jika dikaitkan dengan dunia pekerjaan maka salah satu pertanyaan penting, adakah sindrom burnout ini ada di kalangan pendidik? Hal ini penting untuk ditelisik sebab apapun yang terjadi pada pendidik maka pengaruh pada kualitas proses pendidikan akan signifikan. Pada satu wawancara, Menteri Pendidikan Finlandia ditanya tentang berhasilnya pendidikan (dasar) di Finlandia, dijawab tegas: “Teacher, teacher, and teacher.” Tentu bukan maksudnya mengabaikan faktor lain, tetapi jelas ini menunjukkan faktor guru sebagai peran sentral dalam pendidikan. Maka tak heran juga ketika dalam kampanye pil-pres 2014 Jokowi and his gang menjanjikan Menteri Pendidikan dari kalangan guru, ‘surga’ tiba-tiba saja ada di depan mata. Nyatanya? Kita bersama tahu bersama nasib janji-janji pil-pres 2014 itu.
Salah satu yang sering dikeluhkan guru adalah beban administrasi yang berlebih, baik dalam input, proses maupun output penyelenggaraan pendidikan. Tidak hanya itu, ribet-nya proses kenaikan pangkat sebagai PNS juga. Tulisan ini tidak akan masuk dalam permasalah yang lebih detail, tetapi lebih sebagai ajakan, mari kita lihat hal yang sangat penting dalam hidup bersama kita: pendidikan.
Meski sindrom burnout ini muncul dalam ranah pekerjaan, tetapi refleksi dalam dunia pendidikan, mungkinkah ini bisa juga digunakan sebagai ‘kacamata’ untuk melihat dari sisi peserta didik? Khususnya pendidikan dasar kita, hal yang mestinya seluruh anak-anak Indonesia akan mengecapnya karena amanat konstitusi, wajib belajar. Dan karena sifatnya wajib maka ke-hati-hati-an haruslah lebih tinggi baik dalam mempersiapkan, memonitor, maupun mengevaluasi pendidikan dasar kita. Perbaikan terus menerus haruslah dilakukan secara berkesinambungan.
Sama seperti titik tolak sindrom burnout di ranah pekerjaan: beban kerja, pertanyaan kita adalah, apakah beban-beban yang harus dipikul oleh anak-anak kita di pendidikan dasar sudah sesuai? Kami melihat, terlalu banyak beban. Seakan-akan begitu bermacamnya yang ingin dijejalkan pada anak-anak kita di pendidikan dasar. Tidak hanya bermacam, tetapi dituntut harus kompeten! Pertanyaan besarnya: dalam pendidikan dasar, apakah sebenarnya itu masalah potensi atau kompetensi? *** (19-6-2018)