01-6-2018
Adanya Pancasila bukan sekedar untuk membuat senang orang, atau memperingatinya dengan berbagai lomba. Dilarang? Tidak, tentu tidak ada larangan memperingati Pancasila dengan berbagai lomba. Hanya saja perlu diingat, Pancasila lahir bukan seperti bayi yang hanya bisa menangis, menetek ASI, atau membuat gemas, dan kemudian ingin menggendong, menimang. Mencari di toko bayi, baju-baju nan indah. Tetapi Pancasila lahir karena imajinasi bersama, dan imajinasi yang kemudian menjadi janji.
Janji dibuat karena alasan-alasan tertentu. Maka sangatlah cerdas ketika founding fathers mengingatkan untuk selalu ingat akan suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) saat berusaha menyelidiki Undang-Undang Dasar. Suasana kebatinan apa yang berkembang ketika Pancasila menyusun janji-janjinya?
Pancasila sendiri tidak bisa mewujudkan sendiri janji-janjinya, maka ia perlu orang-orang konkret. Siapakah orang-orang konkret itu? Kita pernah punya pengalaman berpuluh tahun, negara dalam hal ini pemerintah yang menunjuk bahwa rakyatlah orang-orang konkret itu. Maka diadakanlah berbagai penataran-penataran yang dibelakangnya adalah asumsi: jika semua rakyat Indonesia ini melaksanakan Pancasila maka janji-janji Pancasila itu akan serta merta terwujud. Benarkah? Ataukah ini sekedar ‘taktik’ untuk menyembunyikan perilaku negara (baca: pemerintah) yang sebenarnya?
Bagaimana jika sekarang kita sebagai rakyat gantian menunjuk hidung: negaralah –dalam hal ini pemerintah sebagai pengelola negara, yang mestinya melaksanakan Pancasila. Pemerintahlah yang mestinya sebagai pelaksana utama dalam upaya mewujudkan janji-janji Pancasila. Melalui apa? Kebijakan-kebijakannya. Melalui tindakan-tindakannya. Lalu bagaimana rakyat ikut dalam mewujudkan janji-janji Pancasila? Rakyat ikut terlibat dengan mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Taat terhadap regulasi atau peraturan yang ditetapkan pemerintah.
Bagaimana jika kebijakan-kebijakan pemerintah, peraturan-peraturan yang ditetapkan serta tindakan-tindakan dirasa semakin jauh dari janji-janji Pancasila? Maka adalah hal wajar jika kemudian Pancasila ditagih janji-janjinya. Melalui apa rakyat menagih janji Pancasila? Yaitu dengan ‘melayangkan tagihan’ tersebut pada pemerintah sebagai pelaksana utamanya. Dan inilah sebenarnya ‘romantika-dinamika-dialektika’nya Pancasila, ‘rodinda’-nya Pancasila.
Dengan penghayatan akan suasana kebatinan yang berkembang sebelum sampai saat janji-janji Pancasila dilahirkan, dan juga menangkap suasana kebatinan yang terus berkembang ‘di seberang jembatan emas’, romantika akan memperoleh daya dorongnya. Sekaligus juga menjadi daya dorong utama untuk tiada henti mencoba ‘mengkonfrontir’ janji-janji Pancasila dengan tantangan-tantangan baru. Dan apa-apa yang dilakukan negara melalui kebijakan dan peraturan serta tindakan pemerintah, menjadi tidak lepas dari ‘pantauan’. Dan tidak hanya pantauan, tetapi juga koreksi-koreksi sehingga hidup bersama menjadi semakin dekat dengan apa-apa yang dijanjikan Pancasila.
Maka ketika menjelang 1 Juni muncul ‘ribut-ribut’ soal penghasilan para punggawa BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), sungguh perasaan jadi jengah. Ideologi pertama-tama dapat dilihat dari praktek, dari tindakan-tindakannya. Dan sudahkah BPIP memberikan saran atau bahkan kritik terkait dengan kebijakan dan tindakan pemerintah? Kita sebagai rakyat tidak tahu sama sekali, ujug-ujug saja justru masalah gaji/penghasilan. Founding fathers rasanya sedang gundah di alam sana .... *** (01-6-2018)