25-5-2018
Menjelang 1 Juni, cobalah kita ajukan dua pertanyaan, (1) atas dasar apakah ‘perilaku’ negara harus diatur? dan (2) atas dasar apakah ‘perilaku’ masyarakat harus diatur? Dasar di sini dimaksudkan sebagai prinsip-prinsip dasar yang mana negara atau masyarakat haruslah taat dalam berperilaku. Mungkin pertanyaan ketiga bisa diajukan: jika Pancasila pertama-tama dimaksudkan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur perilaku masyarakat, akankah kita sudah merdeka sekarang?
Pada awal Sidang BPUPKI, dasar negara dibicarakan dengan maksud sebagai yang akan menjiwai pembentukan undang-undang dan peraturan-peraturan yang mana perilaku negara haruslah taat padanya. Jadi, pertama-tama dasar negara yang dibicarakan dalam BPUPKI tersebut adalah untuk mengatur perilaku negara, bukan mengatur perilaku orang-per-orang.
Jika kita membayangkan adanya keluarga dan negara, maka di antara keduanya ada ‘masyarakat warga’. Dalam masyarakat warga ini orang-per-orang akan mengejar kebutuhan dirinya. Tetapi dia juga tidak melulu garis lurus mengejar kebutuhan diri, dia juga harus melihat kebutuhan orang lain juga. Maka berbagai bentuk pertukaran terjadilah di ranah masyarakat warga ini. Dalam masyarakat warga ini perilaku orang-per-orang secara tidak sadar telah diatur dengan norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat yang lama telah berlaku dalam komunitas. Maka ketika masyarakat warga ini kemudian sepakat membentuk negara dia akan otak-atik itu yang namanya dasar negara, dan memang dasar negara tidak akan lepas dari norma-norma yang telah lama berkembang dalam diri masyarakat atau bangsa yang melahirkannya. Tetapi itu bukan berarti pula bahwa dasar negara kemudian pertama-tama adalah untuk mengatur perilaku masyarakat atau orang-per-orang dalam masyarakat. Apa yang berkembang bertahun-tahun dalam masyarakat tentulah akan jauh lebih kaya dari apa yang mampu dirumuskan dalam dasar negara.
Atau cobalah kita lihat endapan panjang dalam masyarakat tentang ‘musyawarah untuk mufakat’ misalnya. Kita bisa juga bertanya, adakah pengalaman panjang tentang ‘musyawarah untuk mufakat’ di masyarakat atau bangsa lain? Lalu apa yang khas dengan ini? Yang khas adalah untuk kita hal tersebut dijadikan salah satu untuk mengatur perilaku negara.
Jika dasar negara kemudian dipaksakan untuk mengatur perilaku orang-per-orang, maka yang akan terjadi adalah kebebasan orang-per-orang akan terbatasi. Bukan untuk memuja kebebasan, tetapi seperti disebut di atas, apa yang dirumuskan sebagai dasar negara itu pastilah ia tidak akan seluas dari berbagai pengalaman hidup yang sudah bertahun berjalan dan dijalani masyarakat. Lalu bagaimana harus bersikap dan taat kepada dasar negaranya? Karena dasar negara itu akan menjiwai hukum dan peraturan yang akan ditetapkan oleh negara, maka bagi masyarakat untuk taat kepada dasar negaranya pertama-tama adalah taat kepada hukum. Jika masyarakat taat hukum maka itu juga berarti sudah ikut menjalankan kesepakatan dasar negaranya.
Masalahnya adalah ketika perilaku negara dan kadang hukum yang ditetapkan dirasa tidak sesuai dengan harapan. Maka disinilah juga peran masyarakat warga terkait dengan dasar negara bisa aktif berperan, tidak hanya sekedar taat hukum saja. Rasa keadilan-lah yang pertama-tama akan terusik jika hukum dan negara dalam praktek terasa ‘menyimpang’. Dengan segala daya maka dimungkinkanlah masyarakat warga ini ‘menggugat’ berbagai produk hukum dan perilaku negara yang tidak sesuai dengan dasar negara yang sudah disepakati. Di sinilah juga peran penting dari apa yang disebut sebagai “civic education” atau pendidikan kewarga-negaraan. Bukan hanya supaya tahu dan taat hukum, tetapi juga mampu memberikan koreksi.
Maka jika “rasa-keadilan” sudah begitu mengusik, dan menurut Harold J. Laski, hanya melalui pemerintahlah rakyat akan bisa menggapai negara, dan ternyata jika pemerintah yang ada seakan buta dan tuli terhadap “rasa-ketidak-adilan” yang berkembang dalam masyarakat, maka adalah wajar jika rakyat kemudian mengembangkan upaya-upaya koreksinya. Termasuk misalnya, #2019gantipresiden itu. *** (25-5-2018)