19-5-2018
Apapun yang dilakukan oleh petahana selama 4-5 tahun, petahana akan mempunyai elektabilitas yang tinggi atau cukup tinggi. Bayangkan misalnya, ada kemungkinan dia paling tidak setiap 2-3 hari masuk berita. Survei LSI Denny JA 28 April-5 Mei 2018[1] menghasilkan 50:50 kemungkinan Jokowi bisa dikalahkan. Artinya, elektabilitas Jokowi saat dilakukan survei masih cukup tinggi.
Dalam paparan hasil survei, peneliti LSI Adjie Alfaraby mengatakan bahwa kemungkinan kekalahan Jokowi pada pilpres 2019 nanti akan terjadi jika pihak oposisi bersatu. Adjie mencontohkan pemilihan di Malaysia, bersatunya oposisi mengalahkan petahana.
Jika kita amati lebih dalam, kuatnya petahana di Malaysia (Najib Razak) dan petahana Indonesia (Joko Widodo) ada perbedaan dan persamaan. Di Malaysia, sejak tahun 1957 (saat Malaysia merdeka), pemilihan selalu dimenangkan oleh koalisi Barisan Nasional –yang juga saat ini pendukung Najib Razak. Sedang partai-partai pendukung Joko Widodo, bukanlah partai yang berkuasa secara terus-menerus tanpa putus. Kekuatan Jokowi nampaknya bukan terletak pada sejarah ke-partai-an partai pendukungnya, tetapi justru kepentingan-kepentingan di luar partai –yang juga mempunyai sejarah panjang, tak kalah dari partai-partai itu. Persamaannya adalah, dan ini juga yang membuat bola salju kekalahan Najib menggelinding, sama-sama lekat dengan nuansa ‘poros-Beijing’.
Sumber penghayatan seseorang akan sesuatu pertama-tama adalah apa-apa yang dialami secara langsung. Tidak aneh juga jika ada hal yang sama tetapi dihayati secara berbeda oleh orang yang berbeda. Tetapi sering pula orang tidak yakin akan ‘kebenaran’ penghayatannya itu. Maka kadang ia ‘ngobrol’ dengan yang lain, dan bisa juga itu semata-mata demi meyakinkan diri apa yang dihayati itu benar. Atau paling tidak akan merasa dia tidak sendirian terkait dengan apa yang sedang dihayatinya itu. ‘Ngobrol’ dengan yang lain itu juga bisa berarti melihat dari sisi lain, dari sisi yang dilihat orang lain. Atau dia sedang mencari sebuah ‘jembatan keledai’ untuk mengatakan: “nah itu yang benar” -karena sesuai dengan penghayatannya akan sesuatu hal, yang kadang sulit untuk diucapkan. Inilah mungkin mengapa #2019gantipresiden dikatakan oleh LSI merupakan salah satu yang akan mengganggu elektabilitas petahana. #2019gantipresiden telah menyediakan ‘jembatan keledai’ atau akan ditunjuk ketika ada orang berkata “nah itu yang benar”.
Maka jangan pernah melupakan rasa yang berkembang. Itulah juga mengapa founding fathers merasa perlu menekankan suasana kebatinan terbentuknya UUD 1945. Dari pemilihan di Malaysia, rasa berdaulat kiranya begitu terlukai-nya sehingga rakyat Malaysia melakukan perlawanan melalui tangan Mahathir dan partai koalisi, Pakatan Harapan. Maka tidak heran pula jika LSI menyebut membanjirnya TKA dari China ini sebagai faktor kedua yang akan ‘menghukum’ Jokowi dkk. Isu membanjirnya TKA China ini bagaikan gunung es, dan membesarnya gunung es itu dimulai dengan ‘pengeboran sampel tanah’ di Halim Perdanakusuma, kereta api cepat ‘made-in-China’, frase ‘ayah-kandung-ayah-angkat’, dan beberapa hal lainnya. Isu TKA China hampir mirip posisinya dengan posisi #2019ganti presiden, orang banyak akan mengatakan: “nah betul kan”.
Hal lain yang disebut LSI adalah ‘Islam politik’. Jika LSI menyebut ‘Islam politik’ ini dikaitkan dengan apakah antara agama (Islam) dan negara harus dipisah atau tidak, sebenarnya masalahnya lebih dari itu. Apa yang berkembang adalah lebih pada ‘maruah’, atau martabat. Kita bisa melihat membesarnya Aksi Bela Islam adalah lebih pada membela martabat, ketika berulang-kali seakan Islam sebagai agama di-olok-olok, meminjam istilah Sujiwo Tedjo. Ketika rakyat kebanyakan merasa bahwa para pendukung Jokowi sebagai sumber dari olok-olok itu, kiranya bukanlah hal yang berlebihan. Dan itu sekali lagi, jangan disalahkan jika kemudian menemukan jawaban bersama dalam #2019gantipresiden.
Masalah ekonomi dan ketidakpuasannya sebenarnya tidak berhenti pada apa yang dirasakan sekarang, tetapi bagi kebanyakan orang adalah juga masalah janji-janji (kampanye). Tidak hanya janji-janji kampanye, tetapi juga jejak-jejak digital dari Jokowi yang seakan bertolak-belakang dengan apa yang dilakukan sekarang setelah jadi presiden. Perasaan tertipu jelas telah merambat pada banyak orang. Dan siapa orang yang suka tertipu? *** (19-5-2018)
[1] https://news.detik.com/berita/d-4019907/lsi-jokowi-bisa-kalah-kalau-sby-prabowo-gatot-bersatu