15-5-2018
“Cermatilah kasus-kasus ketidak-adilan di Dunia Ketiga, dalam relasi-relasi antara Dunia Pertama dengan Dunia Ketiga. Akan anda temukan bahwa di manapun, kasus-kasus ketidak-adilan itu adalah sebentuk kekerasan. Dapat dan harus dikatakan bahwa di manapun, ketidak-adilan adalah sebuah kekerasan mendasar (basic), kekerasan nomer 1,” demikian ditulis Dom Helder Camara dalam Spiral Kekerasan.[1]
Camara meneruskan: “Saat ini egoisme segelintir kelompok dengan hak istimewa (previledged) menggiring umat manusia yang tak terhitung jumlahnya ke kondisi sub-human, sehingga mereka mengalami ketidak-berdayaan, penistaan dan ketidak-adilan; tanpa kepastian masa depan, tanpa harapan. Kondisi mereka adalah kondisi para budak. Kekerasan yang dimapankan ini, yakni kekerasan nomor 1, memancing kekerasan nomor 2, berupa pemberontakan, entah dari kaum tertindas sendiri atau kaum muda, yang dengan kuat diarahkan untuk memenangkan dunia yang adil dan manusiawi. Tentu saja dalam kekerasan no. 2 ini terdapat berbagai variasi, perbedaan tingkatan dan nuansa dari benua ke benua, negara ke negara dan kota ke kota, tetapi pada umumnya di Dunia Ketiga dewasa ini mata kaum tertindas sudah mulai terbuka”.[2]
“Ketika konflik sampai di jalan-jalan, ketika kekerasan nomor 2 mencoba melawan kekerasan nomor 1, para penguasa memandang dirinya wajib menjaga atau memulihkan ketertiban umum, sekalipun itu berarti dipakainya kekuatan; inilah kekerasan nomor 3,”[3] demikian Camara menjelaskan kekerasan nomor 3.
Inilah spiral kekerasan yang dimaksud Camara, ketidak-adilan sebagai kekerasan #1, memicu perlawanan dan bisa mewujud sebagai kekerasan #2. Dan akhirnya penguasa memakai kekuatan yang ada padanya, secara represif menekan kekerasan #2 dengan memakai kekerasan #3. Kekerasan #3 ini, disadari atau tidak mempunyai kemungkinan yang besar untuk mempertahankan ketidak-adilan, atau bahkan meningkatkannya. Maka kembali lagi muncul reaksi, kekerasan #2. *** (15-5-2018)