09-5-2018
Dalam The Future Farmers of America 27 Juli 2001 Presiden George W. Bush menegaskan:
“It’s important for our nation to build – to grow foodstuffs, to feed our people. Can you imagine a country that was unable to grow enough food to feed the people? It would be a nation subject to international pressure. It would be a nation at risk. And so when we’re talking about American agriculture, we’re really talking about a national security issue.”[1]
Tidak hanya Amerika, tetapi juga negara-negara industri lainnya seperti Uni Eropa, Jepang, juga memandang penting masalah (mengembangkan dan melindungi) pertanian ini. Contoh, setiap sapi di Eropa, subsidi per-harinya ternyata lebih besar dari penghasilan per-hari dari sekitar separuh penduduk dunia.[2]
Bagi kita di Indonesia kiranya tulisan Sumitro Djojohadikusumo 33 tahun lalu bisa menjadi masukan penting. Sumitro dalam “Perkembangan Kebijaksanaan Riset”, Prisma no. 6 Desember 1975 membedakan antara teknologi maju (advanced technology), teknologi adaptif (adaptive technology) dan teknologi protektif (protective technology). Yang dimaksudkan adaptasi di sini adalah bagaimana dikembangkan teknologi sesuai dengan kebutuhan atau kondisi setempat, seperti ketersediaan material di sekitar atau juga kebutuhan penyerapan tenaga kerja, misalnya. Protektif dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap alam, pengelolaan dan kelestariannya sehingga dapat memberikan manfaat secara terus-menerus bagi kepentingan masyarakat. Jika Prof. Sumitro masih hidup sekarang ini, mungkin akan menunjuk teknologi di belakang Revolusi 4.0 ini sebagai advanced technology. Mengembangkan teknologi adaptif (juga protektif) bagi Sumitro bukan berarti mengabaikan advanced technology. Jika kita mendalami apa yang diungkap Presiden George W. Bush di atas, kiranya pengembangan teknologi adaptif di bidang agrikultur dalam hal ini, sangat-sangatlah penting. Juga pengembangan di bidang lain. Tentu keberhasilan swasembada pangan misalnya, di luar teknologi adaptif yang dikembangkan masih banyak hal lain untuk menopangnya. Apalagi seperti diingatkan oleh Robert Morrison pada tahun 1979: “Mereka kaum teknolog, begitu pandai membawa Anda ke Paris dalam hanya tiga jam, tetapi tidak dapat memberi nasehat sedikit pun, sebaiknya berbuat apa kalau sudah sampai sana.”[3]
Menurut Ralf Dahrendorf (1959) suatu organisasi atau katakanlah sebuah interest group untuk dapat berhasil memerlukan (1) kondisi teknis, (2) kondisi politis, dan (3) kondisi sosial.[4] Kondisi teknis, Dahrendorf merujuk pada Malinowsky, adalah merupakan kaidah/kesepakatan bersama, norma-norma tertentu, personalia, adanya aktifitas rutin dan peralatan/instrumen. Terkait dengan kondisi politis Dahrenderof menyontohkan bagaimana problem berkembangnya organisasi di bawah rejim totaliter. Jadi kondisi politis terkait dengan pengakuan hak berorganisasi dan jaminan politik untuk melakukan kegiatan organisasi. Kondisi sosial dalam arti bagaimana organisasi itu akan ditempatkan dalam keseluruhan struktur masyarakat. Juga bagaimana sistem komunikasi antar anggota masyarakat, kepemimpinan.
Jika kita membayang negara sebagai bentuk interest group juga maka pembedaan tiga kondisi seperti disampaikan oleh Dahrendorf di atas kiranya bisa membantu. Meski kita bisa menempatkan teknologi pada salah satu bagian dari kondisi teknis, tetapi kita juga harus hati-hati karena luas dan dalamnya jangkauan pengaruh teknologi pada masyarakat secara keseluruhan. Maka ketika kita berhadapan dengan Revolusi Industri 4.0, kita harus membayangkan bahwa itu bukan hanya masalah jualan on-line atau yang sejenisnya. Atau masalah bagaimana menggunakan robot dalam industri. Atau e-KTP.
Jika kondisi politis kita maknai sebagai kemampuan negara membuat kebijakan-kebijakan dan melaksanakannya, memakai masukan dari Prof. Sumitro seperti disebut di atas, maka bagaimana negara bersikap terkait dengan Revolusi Industri 4.0 ini sebagai advanced technology? Dan bagaimana dengan teknologi adaptif dan protektif? Perlu diingat, pada tahun 1999 misalnya, 3 perusahaan terbesar di Detroit, untuk memperoleh revenues 250 milyar dollar memerlukan 1,2 juta pekerja. Pada tahun 2014, 3 perusahaan terbesar di Lembah Silikon, untuk revenues 247 milyar dollar hanya butuh pekerja 137.000 saja.[5] Jadi apa yang disebut oleh Prof. Sumitro terkait dengan teknologi adaptif, yang salah satunya bisa dikaitkan dengan masalah lapangan kerja, adalah juga sangat menantang. Apalagi jika dikaitkan dengan masalah kedaulatan pangan seperti disinyalir George W. Bush seperti kutipan di atas. Salah satu masalah “hampir abadi –bussines as usual’, bagaimana negara berhadapan dengan ‘rejim totaliter’ oligarki-pemburu rente bidang pangan misalnya. Mampukah?
Belum lagi jika kita membayangkan terkait kondisi sosial. *** (09-5-2018)
[1] Jean Ziegler, Christophe Golay, Claire Mahon, Sally-Anne Way, The Fight for the Right to Food. Lesson Learned, Palgrave Macmillan, 2011, hlm. 69
[2] Ibid
[3] Y.B. Mangunwijaya, Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Volume I, Yayasan Obor Indonesia, 1987, cet-2, hlm. x
[4] Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society, Stanford University Press, 1959, hlm. 184-187
[5] Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution, World Economic Forum, 2016, hlm. 14