07-5-2018
Ketika foto bertinjunya PM Kanada Justin Trudeau beredar, warga negara Kanada tidak merasa aneh. Trudeau memang seorang petinju sebelum jadi PM. Demikian juga Putin dalam hal judo. Demokrasi dalam praktek memang penuh dengan bunga-bunganya. Kata Winston Churchill, democracy is the best form of the worst type government. Jadi memang demokrasi tidak selalu menampakkan hal-hal yang selalu baik atau kedalaman saja. Sayangnya, di banyak tempat dan kesempatan, terlalu banyak hal permukaan. Fakta yang tidak boleh diingkari: harus dihadapi.
Saat Hillary Clinton vs Donald Trump bertarung di pemilihan presiden AS, gaya rambut Trump jadi bahan olok-olok pendukung Hillary. Termasuk gaya omongan yang cenderung vulgar. Tapi bagi Partai Republik, olok-olok itu diam-diam jadi berkah tersendiri. Berkah untuk memberikan bungkus unik kepada Trump: bungkus ke-otentik-an.
Dengan merebaknya jaringan internet dan sosial media, naiknya narsisme tidak bisa dicegah. Apakah itu benar foto diri sebenarnya atau tidak, atau editan, tidak terlalu penting. Atau juga ketika ruang publik kadang harus menerima gaya dan isi omongan dari seorang Ruhut, Abu Janda dan sejenisnya misalnya, mana yang pantas dan tidak pantas, menjadi semakin kabur. Maka bagi sementara orang, tidaklah mengherankan jika di balik itu semua, diam-diam ke-otentik-an terasa semakin dirindukan, entah disadari atau tidak. Ke-tidak-suka-an publik terhadap Afi terkait dengan kasus plagiat kiranya bukanlah mengada-ada atau dimobilisir.
David Patrikarakos dalam kolom Corbyn, Trump, and the Quest for Political Authenticity (12/10/2015) menuliskan, “I think the biggest attribute you can now have in politics is authenticity ..... [Having] authenticity and strong views and principles is the one way you can get people to listen to you in a society where politicians struggle to be listened to.”[1] Otentik menurut J.S. Badudu berarti asli, sah, dapat dipercaya.[2]
Dalam Thinking Points: Communicating Our American Values and Vision (2006), George Lakoff mengutip pendapat Richard Wirthlin, chief strategist dari Presiden Ronald Reagan, tentang mengapa rakyat AS kemudian memilih lagi Reagan. Menurut Wirthlin, Reagan lebih bicara tentang nilai-nilai (values) dari pada isu-isu politik atau kebijakan-kebijakannya. Reagan selalu berusaha terhubung atau dekat dengan rakyat, dan mampu berkomunikasi dengan baik. Reagan juga nampak otentik, dalam arti: ia tampak begitu percaya pada apa-apa yang dikatakannya. Dan karena ia bicara tentang nilai-nilainya, dekat dengan rakyat, dan nampak otentik maka rakyat kemudian bisa mempercayai Reagan.[3]
Tambahan analisa Noam Chomsky tentang sekitar Reagan yang ada dalam Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda (1997) kiranya dapat melengkapi pemahaman kita. Dari Chomsky berikut maka kita bisa lihat bahwa ‘aksi’ Ronald Reagan tersebut di atas seperti digambarkan chief strategist-nya Richard Wirthlin, tidaklah terjadi dalam ruang vacuum. Chomsky menulis,
“Program-program rancangan Reagan sangat tidak populer. Pada pemilihan tahun 1984, di mana Ronald Reagan meraih suara mayoritas, sekitar tiga dari lima berharap kebijakan Reagan tidak diberlakukan. Jika anda melihat program tertentu, misalnya pengadaan senjata, pemotongan terhadap dana-dana sosial, dan sebagainya, hampir semuanya tidak didukung oleh publik. Namun, selama publik terus dibatasi, dialihkan perhatiannya, dan tidak punya akses untuk berorganisasi atau menyatakan sentimennya, atau bahkan untuk mengetahui kalau orang lain juga menyimpan sentimen yang sama, keadaan tidak akan berubah”.[4]
Maka menjadi jelas keberhasilan ‘the good’ Reagan dalam bicara soal nilai-nilai, kedekatan dengan rakyat dan nampak otentik itu ternyata juga ditopang dengan hadirnya background tertentu. Background yang sangat mungkin diupayakan oleh ‘kaum the bad’[5]: dibatasinya publik, pengalihan perhatian publik, dan tiadanya akses berorganisasi, untuk menyatakan sentimen atau bahkan untuk mengetahui kalau orang lain juga punya sentimen yang sama. Bagaimana dengan Donald Trump seperti diangkat oleh David Patrikarakos di atas? Beda dengan Reagan yang petahana waktu itu, Trump (dan Hillary) sama-sama belum bisa dinilai kinerja atau kebijakan-kebijakannya, sehingga apa yang disebut Chomsky tidak terlalu dibutuhkan. Yang dibutuhkan Trump salah satunya adalah betapa otentiknya dia dibanding Hillary (sebagai background ke-otentik-annya) yang ternyata palsu (ingat kasus e-mail yang membelit Hillary, intinya: Hillary bohong – Trump tidak bohong karena otentik, genuine-asli). *** (07-5-2018)
[1] http://www.tabletmag.com/jewish-news-and-politics/193934/corbyn-political-authenticity
[2] J.S. Badudu, Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, Penerbit Buku Kompas, hlm. 256
[3] George Lakoff, Thinking Points: Communicating Our American Values and Vision, 2006, hlm. 7
[4] Noam Chomsky, Politik Kuasa Media, PINUS Book Publisher, 2006, cet.2, hlm. 34. Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/041-Belajar-Dari-Noam-Chomsky/
[5] Lihat, https://www.pergerakankebangsaan.com/001-The-Good-The-Bad-The-Ugly/