05-5-2018
“White House warns China: There will be ‘consequences’ for militarization of South China Sea” adalah laporan dari CNBC terkait manuver militer China di Laut China Selatan, dua hari lalu.1] Thucydides dalam Sejarah Perang Peloponnesia menandaskan bahwa berkembangnya kekuatan Athena, di mana saat itu Sparta dominan, membuat perang menjadi tidak terelakkan. Sama dengan Perang Dunia I, banyak yang menilai kemajuan pesat Jerman saat itu dimana Pax Britannica sedang berjalan, membuat perang menjadi tidak terelakkan.
Dalam Perang Peloponnesia (431-404 SM) antara Athena dkk melawan Sparta dkk, Melos, sebuah pulau kecil yang meski penduduknya sama etnis dengan Sparta, Melos tetap independen dalam perang tersebut. Pada tahun 416 SM di tengah-tengah berkecamuknya perang Peloponnesia, Melos didatangi Athena. Dalam Melian Dialogue –dialog antara perwakilan Athena dan Melos, pihak Athena minta Melos berpihak padanya. Tetapi permintaan itu ditolak oleh pihak Melos. Pihak Athena kemudian menegaskan seperti ditulis Thucydides dalam Melian Dialogue,
“.... the standard of justice depends on the equlity of power to compel and that in fact the strong do what they have the power to do and the weak accept what they have to accept.”[2]
Melos tetap kukuh tidak mau menyerah, dan akhirnya dalam waktu singkat Melos ditaklukkan dan dibumi-hanguskan oleh Athena.
Istilah Thucydides Trap –merujuk terjadinya Perang Peloponnesia seperti ditulis Thucydides, dipopulerkan oleh Graham T. Alisson kira-kira satu tahun lalu menyoroti meningkatnya kekuatan China yang sangat mungkin akan mengusik dominasi Amerika Serikat. Ketegangan pasti terjadi, tetapi perang dalam waktu dekat ada yang menolaknya. Naiknya kekuatan China sekarang ini tidaklah secepat membesarnya kekuatan Jerman sebelum PD I. Dan ini akan mengakibatkan berbagai ‘penyesuaian-penyesuaian’ akan terjadi sehingga perang dapat dihindarkan. Masalahnya adalah, bagi kita bangsa Indonesia, apakah ‘penyesuaian-penyesuaian’ itu juga akan melibatkan atau berdampak pada Indonesia?
Yang harus diperhatikan adalah Perang Peloponnesia itu bukan hanya perang antara Athena dan Sparta saja, tetapi adalah antara Athena dan sekutu-sekutunya melawan Sparta dan sekutu-sekutunya. Melos seperti disebut di atas adalah ‘korban’ ketika ia menolak menjadi sekutu. Maka meski benturan keras antara China dan Amerika diprediksi tidak akan terjadi dalam waktu dekat, tetapi bau-bau dalam merekrut sekutu kelihatannya semakin jelas. Di sinilah kita sebagai negara merdeka-berdaulat ditantang untuk kembali dan selalu menegaskan diri.
Jika kembali ke awal tulisan ini, kutipan berita dari CNBC, maka tidaklah berlebihan jika kita melihat potensi konflik di Laut China Selatan itu bisa sekaligus juga merupakan ancaman bagi NKRI. Apalagi jika kita mengingat Perang Modern-nya Jenderal Ryamizard, tahap pertama: infiltrasi. Yakinkah kita bahwa tidak ada infiltrasi dari negeri China ke NKRI ini? Tahap selanjutnya adalah adu-domba, dan melihat berbagai konflik dalam masyarakat selama empat tahun terakhir ini, yakinkah kita tidak ada upaya adu-domba?
Manuver militer China di Laut China Selatan, apapun itu harus kita pandang selain sebagai unjuk kekuatan adalah juga sebuah pesan. Pesan bahwa China akan melakukan apapun untuk mem-back-up salah satu aset paling berharganya di luar negeri, meski aset itu cenderung plonga-plongo penampakannya.*** (05-5-2018)