www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

04-5-2018

“Pendeknya dalam pikiranku, Perancis bukanlah Perancis bila tanpa kebebasan, kemuliaan, keagungan, dan kehormatan,” demikian ditulis Charles de Gaulle dalam memoarnya.[1] Charles de Gaulle kiranya sedang menulis apa yang menjadi élan vital bangsanya. Dari sudut pandang aliran vitalisme, manusia tidak hanya merupakan kumpulan reaksi fisika maupun kimia saja, atau yang sejenisnya, tetapi dia ada yang namanya energi/kekuatan hidup, yaitu élan vital. Suksesnya Jepang dalam ekonomi dan industri, menurut Michio Morishima, tak lepas juga dengan apa yang disebut sebagai Japanese Ethos.[2]

Kalau kita cermati secara perlahan apa yang ditulis dalam Pembukaan UUD 1945, maka dapat kita  bayangkan bagaimana para pejuang kemerdekaan dulu begitu tersikitinya ketika martabat-nya sebagai manusia terus-menerus di-injak-injak. Maka tidaklah aneh jika kemudian masalah dihapuskannya penjajahan ada di alinea pertama. Bagi pemerintah yang mempunyai tugas konstitusional (1) melindungi bangsa dan tumpah darah, (2) memajukan kesejahteraan, (3) mencerdaskan bangsa, dan (4) aktif di percaturan internasional (selengkapnya lihat Pembukaan UUD 1945, alinea 4), dalam kebijakan dan tindakannya semestinyalah selalu menjaga martabat bangsa ini –tanpa kecuali.

Jika dalam perkembangan manusia melibatkan nature dan nurture, maka selalu menjaga martabat adalah juga bagian tak terpisahkan sejak perjuangan kemerdekaan dalam nurturing nations. Peran lingkungan dalam membentuk kualitas manusia semakin jelas pendasarannya terkait dengan berbagai temuan akhir-akhir ini. Salah satu eksperimen adalah eksperimen ‘ibu tikus’. Dua anak tikus, satu diasuh oleh ibu yang sering menjilati, sedang lain diasuh oleh ibu yang seringnya cuek-cuek saja. Dan hasilnya ternyata beda! Dan coba bayangkan, kita sebagai bangsa, presidennya lempar-lempar bingkisan melalui jendela mobil yang sedang berjalan, dan pembantu-pembantunya kadang omong seenaknya ketika ada permasalahan yang menyangkut hajat orang banyak, akankah ini akan berpengaruh pada kualitas kita sebagai bangsa? Bagi kepentingan di luar NKRI yang ngiler lihat kekayaan NKRI dan ingin mencaploknya, tentu melihat kualitas presiden dan pembantu-pembantunya seperti ini akan bertepuk-tangan-riang-gembira.

Memberikan bantuan kepada yang membutuhkan tentunya adalah baik-baik saja. Tetapi bagaimana itu disampaikan dengan tetap menjaga martabat dari si penerima bantuan, tetaplah sangat-sangat penting. Jika kaum penjajah dulu mengembangkan mitos lazy native[3] kepada yang dijajahnya, itu adalah upaya untuk melanggengkan penjajahannya. Di satu sisi penjajah merasa ada di kelas berbeda, maka menjajah adalah sah-sah saja, di sisi lain, mitos itu meruntuhkan semangat bagi yang terjajah untuk melawan.

Kalau kita lihat berulangnya berdesak-desakannya, bahkan sampai ada yang meninggal saat pembagian bantuan, dan berulang juga nampak di televisi, kegeraman dan kegundahan bercampur jadi satu. Di satu sisi, fakta bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang masih membutuhkan bantuan, di lain sisi, bukankah si-pemberi bantuan itu sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan secara lebih bermartabat? Dan mengapa tidak dilakukan? Kita punya cerdik-pandai, punya aparat, punya biaya, semestinya bisa merancang, melaksanakan pembagian bantuan dengan tetap menjaga martabat dari si-penerima, yang juga saudara-saudara kita sebangsa.

Melihat apa yang terjadi selama empat tahun terakhir –bermacam hal, terutama terkait dengan masalah ke-martabat-an bangsa, dan nurturing nations-nya, kiranya fokus pada #2019gantipresiden sudah tidak bisa ditawar lagi. Terlalu mahal negeri ini diserahkan pengelolaannya kepada kaum medioker. *** (04-05-2018)


[1] Sutarjo Adisusilo, Kebangkitan Kembali Perancis Pasca PD II, Studi Kasus Nasionalisme Charles de Gaulle, dalam, Sutarjo Adisusilo (ed), Nasionalisme di Berbagai Negara, Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2006,hlm. 183

[2] Michio Morishima, Why Has Japan “Succeeded’? Western Technology and the Japanese Ethos, Cambridge University Press, 1996

[3] Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native,  Frank Cass and Co., 1977

Membela Martabat

gallery/lempar1
gallery/lempar2