www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

29-4-2018

Bersih setelah aksi dalam banyak hal tidak hanya sebuah gambar besar tetapi juga sebuah daya ungkit. Mungkin kelihatan ‘aneh’ Aa Gym dan santri-santrinya ikut aksi Bela Islam dengan membawa sapu dan kantong sampah. Jujur, adakah yang terpikirkan sebelumnya untuk bersiap diri ikut aksi besar-besaran seperti dipersiapkan oleh Aa Gym dan kawan-kawan?

Dari kacamata Peter L. Berger dan Thomas Luckmann1][, Aa Gym dengan bersih-bersihnya itu sedang melakukan sebuah aksi ‘eksternalisasi’, dan dahsyatnya, begitu cepat terjadi ‘obyektifikasi’ dan kemudian diikuti proses ‘internalisasi’. Dan dapat kita rasakan, sampai sekarang-pun proses ‘institusionalisasi’ (pelembagaan) terus terjadi. Dua hal mengapa proses internalisasi dan pelembagaan terjadi dalam proses yang cepat, pertama, faktor Aa Gym pada khususnya, dan kemudian juga elit, ulama lain serta santri-santrinya pada umumnya yang mendukung ‘gerakan’ itu dengan sepenuh hati. Yang kedua, sebagai gerakan counter ketika sudah begitu muaknya dikonstruksikan dan ditempatkan seperti apa yang ada dalam buku Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native. A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in Ideology of Colonial Capitalism.[2]

Entah itu sebagai scenario writing atau tulisan akademik, apa yang ditulis oleh Samuel P. Huntington tahun 1993 tentang The Clash of Civilizations?[3] secara tersirat terasa jejak-jejaknya dalam konteks ‘bersih setelah aksi’ ini. Paling tidak di sebagian yang nyinyir terhadap aksi-aksi Bela Islam termasuk ‘bersih setelah aksi’-nya itu, jauh di dalam lubuk hatinya nampaknya mereka merasa sebagai ‘anak kandung’ peradaban Barat. Dan tanpa sadar, merasa hidup di kelas yang berbeda. Lupa bahwa apapun yang ditulis oleh Huntington 25 tahun lalu itu, ternyata salah satu fakta menyedihkan telah terjadi pada jaman now seperti ditunjukkan oleh Thomas Piketty dkk dalam Capital in the Twenty-First Century (2014)[4]: kesenjangan merebak dengan begitu ugal-ugalannya kembali seperti pada akhir abad-19.

Maka tidaklah salah jika ada yang mengatakan bahwa ‘bersih setelah aksi’ telah memberikan sebagian gambar besar, meminjam Huntington di atas, gambar besar ‘clash of civilizations’.  Dan juga memberikan ‘daya ungkit’ besar bagi terbangunnya perasaan bermartabat dan percaya diri. Perasaan yang bahkan –disengaja atau tidak, diretakkan sendiri oleh Joko Widodo selaku presiden dengan aksi lempar-lempar bingkisan ke rakyat dari dalam mobil yang sedang berjalan itu.

Jangan pernah meremehkan perasaan bermartabat dan rasa percaya diri. Apalagi jika itu berkembang sebagai bagian dinamika komunitas. Ketika para pendukung ‘ketimpangan yang ugal-ugalan’ ini akan memaksimalkan uang mereka dalam memenangkan pertarungan, rasa bermartabat dan percaya diri ini bisa menjadi amunisi yang tidak ada habisnya. Atau meminjam tripartit jiwa Platon, inilah ketika kekuatan nafsu (bawah pusar-termasuk uang) dilawan dengan kekuatan yang bersembunyi di dada: kebanggaan, harga diri, di tambah dengan kekuatan pengetahuan yang ‘ngendon’ di kepala. Apalagi jika ditambah dengan God. *** (29-4-2018)

 

[1] Peter L. Berger, Thomas Lucmann, The Social Construction of Reality, Penguin Books, 1976

[2] Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native, Frank Cassand Company Ltd., 1977

[3] Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations?, Foreign Affairs, Vol 71, No. 3,  1993, hlm. 22-49

[4] Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, (Trsl. Arthur Goldhammer), The Belknap Press of Harvard University Press, 2014

Bersih Setelah Aksi

gallery/aa
gallery/aa2