19-4-2018
3G adalah God, Glory, Gold: motif yang sering dilekatkan pada jaman ketika Eropa merambah dunia. Era kolonialisme yang merebak antara tahun 1500-an sampai 1800-an. Motif terkait God pada jaman itu adalah penyebaran agama Kristen. Glory muncul dari persaingan antara Portugis dan Spanyol, dan kemudian negara-negara Eropa lainnya. Gold selain emas juga rempah-rempah. Bahkan budak!
“Man is in his actions and practice, as well as in his fictions, essentially a story-telling animal”[1], demikian Alasdair MacIntyre menulis dalam After Virtue. Dan God-Glory-Gold telah menjadi ‘dongeng’ yang begitu kuat merasuki para penjelajah, pedagang, tentara, penyebar agama. Apalagi dari sudut pandang triparti jiwanya Platon, God-Glory-Gold ini bisa dikatakan banyak kesebandingannya. Maka ketika God-Glory-Gold kemudian dihayati sebagai ‘satu jiwa’, dia akan mempunyai kekuatan dahsyat.
Deja vu kalau kita coba melihat permasalahan yang kita hadapi paling tidak 3-4 tahun terakhir. Apakah beberapa peristiwa muncul sebagai peristiwa tunggal berdiri sendiri atau merupakan bagian dari yang lebih besar? Apakah peristiwa-peristiwa tersebut punya dimensi yang tidak nampak juga? Dan bagaimana jika kita kuliti peristiwa-peristiwa tersebut secara perlahan?
Glory dalam perkembangan peta geopolitik global adalah yang lebih mudah kita diskusikan di sini. Satu kata kunci adalah: meningkatnya peran geopolitik di kawasan Trans-Pasifik. China dengan segala ukurannya dan sejarahnya serta geliat perkembangan ekonomi, jelas merupakan faktor sentral dalam dinamika Trans-Pasifik. Sejarah masa lalu dimana pernah menjadi kekuatan dominan dunia jelas juga akan memberikan story-telling yang kuat pada dirinya. Maka, tidaklah mungkin untuk mengabaikan faktor ‘ambisi’ China ini jika kemudian kita bicara soal 3G. Tentu tidak hanya glory yang menjadi concern, jelas juga masalah gold di sini. Tetapi jika harus memasukkan dimana harus diletakkan, kelihatannya faktor ‘ambisi’ China ini lebih ada di glory. Ambisi untuk menjadi super-power (lagi) mengalahkan Amerika. Dan kita tidak bisa melarang China punya ambisi. Yang bisa kita lakukan adalah bagaimana kita akan menghadapi ‘ambisi’ yang sangat mungkin akan bersinggungan dengan kita itu.
Bagaimana dengan God dan Gold? Jika kita melakukan pendalaman dan penghayatan lebih dalam dengan melihat bagian-keseluruhan, yang kelihatan-dan yang tidak, serta mau agak bersabar mengurai lapis-demi-lapis, dari apa-apa yang tampak atau menampakkan diri pada kita, semoga kita akan semakin paham. Dan semakin yakin juga bahwa yang kita hadapi itu adalah sebuah kekuatan yang sungguh tidak kecil. Ini bukan masalah pesimis atau optimis, tetapi adalah mengukur tantangan secara obyektif. *** (19-4-2018)
[1] Alasdair MacIntyre, After Virtue, Gerald Ducworth, 1981, hlm. 201