31-3-2018
Kecintaan atau bahkan obsesi manusia terhadap daya ungkit sudah berlangsung sejak lama. Mulai dari urusan merobohkan benteng musuh, membangun piramid, pembunuhan tokoh, sampai pada ranah finansial. Dari melibatkan kekuatan tangan, kesadaran, sampai pada cukup jari-jari saja yang terlibat. Dari sebuah prototipe sampai pada inspirasi. Bagi yang sedang obsesi mendongkrak popularitas, pembuatan prototipe kampung deret misalnya, akan memberikan daya ungkit besar bagi popularitas. Dan banyak lagi.
Salah satu daya ungkit yang harus diperhitungkan secara hati-hati adalah ‘inspirasi’. Sosok inspiratif bisa memberikan daya ungkit begitu besar dalam gelora patriotik misalnya, dan ini tentu tidak akan disukai bagi yang sedang ingin menguasai sebuah negara. Mereka akan lebih suka pada sosok kelas medioker, terampil dalam menghibur dari pada memberikan inspirasi patriotik bagi rakyatnya.
Bagi Thucydides (460-395 SM), hubungat erat antara kata dan tindakan memberikan daya ungkit besar bagi perkembangan peradaban. Tak terlalu beda jauh dari Montesquieu (1689-1755) yang berpendapat bahwa perdagangan akan mendorong berkembangnya perilaku baik (good manners) dan peradaban. Dan ini, sekali lagi, adalah masalah kata yang sebangun dengan tindakan. Antara janji terucap dengan pemenuhan janji.
Bagi pemimpin kelas medioker, janji adalah pertama-tama bagi kepentingan diri sendiri untuk mengangkat popularitas. Maka dipompalah janji-janji setinggi-tingginya persis sama dengan yang dilakukan oleh seorang demagog. Soal pemenuhan janji adalah nomer dua-tiga-empat. Nomer satu, bagaimana kekuasaan digenggam. Setelah kekuasaan tergenggam, selanjutnya bukanlah pemenuhan janji tetapi adalah soal bagaimana kekuasaan itu bertahan tetap di dalam genggaman tangannya. Soal pemenuhan janji? Kembali ke nomer dua-tiga-empat. Apa yang disebut sebagai “mencerdaskan kehidupan bangsa”[i] misalnya, sama sekali tidak terlintas dalam benak pemimpin kelas medioker.
Era digital ini memberikan daya ungkit yang belum pernah terbayangkan bagi generasi-generasi jaman old. Tidak heran jika ada yang menyebut era sekarang ini adalah ‘the age of leverage’. Masalahnya adalah, siapa ‘man behind the leverage’ itu. Bagi buzzer-buzzer dari pihak tertentu, dimana secara jumlah sebenarnya sangat-sangat kecil, ‘the age of leverage’ ini adalah berkah melimpah. Tidak hanya ‘menyembunyikan’ kecilnya jumlah, tetapi juga akan menggandakan berkali-lipat suaranya. Tidak peduli suara-suara itu bermutu atau tidak. *** (Mar 2018)
[i] Lihat Pembukaan UUD 1945, alinea 4