25-3-208
“Negara kuat akan melakukan apa yang mereka mau dan negara yang lemah akan menanggung konsekuensinya”, demikian salah satu diktum dari Thucydides (460-400 SM). Maka bagi Mearsheimer (2001), “jantung dimana kalkulasi tentang power ditempatkan adalah pada bagaimana negara berpikir tentang dunia sekitar mereka”.[1] Ujung paling akhir dari “yang kuat akan melakukan apa yang mereka mau dan negara yang lemah akan menanggung konsekuensinya” adalah perang. Belajar dari sejarawan Yunani Kuno, Thucydides, yang menulis bahwa perang antara Athena dan Sparta disebabkan tiga motif, maka paling tidak ini membantu kita bagaimana sebaiknya melihat atau berpikir tentang dunia sekitar kita –melalui tiga motif tersebut. Ketiga motif tersebut berasal dari hasrat-hasrat manusia, reason, spirit, dan appetite (lihat: Dari 3G ke 4G, dari 4G ke 5G).
Jika kita melihat peta dari Asia Timur terus turun sampai Asia Tenggara dan Australia, cobalah kita beri tanda berbeda mana-mana negara yang lebih dekat dengan Amerika Serikat dan China? Bukan kedekatan geografis, tetapi kedekatan politik dalam konteks Carl Schmitt, politik dengan dasar terbedakannya friend dan enemy. Dengan tekad Pembukaan UUD 1945: “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, jelas ini tidak mudah ketika dihadapkan oleh ‘maunya negara-negara kuat’ seperti diktum Thucydides di atas. Tidak hanya masalah keserakahan (appetite) atau katakanlah gold, tetapi terlebih juga masalah (terutama jaman now) spirit, glory. Siapa tidak mau jadi super power dunia? Menjadi super power atau terus menjadi lebih power, tidak hanya memuaskan kebanggaan diri, tetapi juga memastikan terjaminnya kesejahteraan dalam jangka waktu lama, demikian kata Thomas Hobbes.
China dalam perspektif Thucydides dan Thomas Hobbes, jelas harus diperhitungkan. Dalam sejarahnya, China pernah menjadi kekuatan besar di dunia, dan sekarang China sedang berkembang dan telah menjadi raksasa yang sedang menggeliat. Ketika Bung Karno dengan lantang pada tahun 1929 memprediksi Perang Pasifik akan meletus, si Bung merasakan peningkatan agresifitas Jepang sebagai faktor penting. Maka tidaklah berlebihan jika kita melihat juga geliat raksasa China tersebut bukan hanya sebagai kesempatan, tetapi juga ancaman. Glory dan upaya memastikan amannya kesejahteraan yang sedang dan akan dicapai bisa membuat China berubah dari kesempatan menjadi ancaman. Belum lagi jumlah penduduk yang lebih dari satu milyar, jelas membutuhkan sumber daya tidak sedikit. Meski jauh secara geografis, Amerika Serikat sebenarnya juga telah lama menancapkan kuku cengkeramannya di republik. Yang bolak-balik masuk media: Freeport, misalnya.
Dunia dengan globalisasi memang mengarah pada ke-saling-tergantung-an. Tetapi fakta juga menunjukkan, ke-saling-tergantungan itupun tidak serta merta menghapus diktum dari Thucydides seperti sudah di sebut di atas. Atau meminjam sudut pandang Hobbes, di bawah ke-saling-tergantung-an itu ada gejolak anarki yang tidak akan pernah padam. Konsekuensi dari itu semua adalah, paling tidak, mampukah kita membangun self-help bagi diri kita sendiri sebagai satu bangsa? Jika anarkinya dunia sekitar adalah hal yang tidak tergantung kita, maka jelas mestinya apa yang terjadi di dalam republik adalah hal yang tergantung pada kita. Tetapi apakah yang semestinya tergantung pada kita itu benar-benar masih ada dalam jangkauan kita? Ini salah satu pertanyaan besar jika membicarakan judul tulisan ini: Indonesia bubar 2030.
Prabowo Soebianto mengangkat problem Indonesia bubar 2030 jelas tidak sedang melamun. Riak-riak molekulernya jika jujur melihat situasi dengan mata patriotik maka akan terasa denyutnya. Tinggal siapa atau apa yang akan menjadi katalisnya. Akankah kita diam saja? Tentu tidak! *** (Mar 2018)
[1] Brian C. Scmidt, Realism and facets of power in international relations, 2007