[Di Solo dan dekat Jogja kami mengadakan serangkaian rapat umum. Malam itu aku untuk pertama kalinya berbicara tentang ‘Perang Pasifik yang akan meletus’. Ini tahun 1929, Setiap orang mengira aku gila.
Dengan darahku yang mengalir cepat dari perasaan gembira yang tidak tertahankan, keluarlah dari bibirku ucapan yang sekarang sangat terkenal: “Kaum imperilis. Perhatikan! Apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Perang Pasifik menggeledek dan menyambar-nyambar membelah angkasa, apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Samudera Pasifik menjadi merah oleh darah dan bumi di sekitarnya bergetar oleh ledakan-ledkan bom dan dinamit, di saat itulah rakyat Indonesia akan melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka.
Ucapan ini bukanlah ramalan tukang tenung, ia juga bukan pantulan dari harapan yang didasari impian yang khayal. Aku mengamati Jepang yang menjadi terlalu agresif. Bagiku, apa yang disebut ramalan ini adalah hasil dari perhitungan berdasarkan situasi revolusioner di masa mendatang.][1]
“Bukankah hakikat dari kerja mengurus negara adalah melihat lebih dahulu ke depan. Gouverner, c’est prévoir, to govern is to foresee”. Merujuk pada kata-kata seorang pelopor jurnalisme modern Emile de Girardin,[2] Daoed Joesoef mengatakannya kembali dalam Ideal: Apa, Mengapa, Bagaimana, buah pemikiran untuk menyambut Pesta Emas Universitas Sanata Darma tahun 2007 dan sekaligus perayaan ulang tahun ke-80 Pater J. Drost SJ.[3]
Gouverner, c’est prévoir, meski bukan pemerintah, Prabowo Soebianto mengingatkan kita untuk melihat lebih dahulu sebuah fakta potensial penting: Indonesia bubar di tahun 2030. Orang boleh nyinyir karena salah satu sumber peringatan Prabowo itu sebuah novel, Ghost Fleet (2015) karangan P.W. Singer dan August Cole, tetapi bukankah Bung Karno juga bersiap diri dikatakan sebagai ‘orang gila’ ketika di tahun 1929 ia mengatakan Perang Pasifik akan meletus? Jika dulu Bung Karno melihat peningkatan agresifitas Jepang, bukankah kemarin, sekarang dan ke depan agresifitas China juga terus meningkat? Juli 2016, Richard Robinson mengatakan bahwa Indonesia tidak mempunyai kapasitas untuk menjadi kekuatan dunia.[4] Apapun itu, apa yang dikatakan oleh Prabowo, meminjam kata-kata si Bung, “bukanlah ramalan tukang tenung, bukan (pula) pantulan dari harapan yang didasari impian yang khayal”.
***
Pagi pukul lima, setelah si Bung pidato tentang meletusnya Perang Pasifik malam harinya, di rumah Suyudi di Jogja tempat si Bung menginap, pintu rumah digedor-gedor. Inspektur berdiri di hadapan si Bung dan berkata, “Atas nama Sri Ratu kami menahan Anda.”[5] *** (Mar 2018)
[1]Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Edisi Revisi 2011, hlm. 111.
[2]Emile de Giradin (1806-1886) adalah tokoh pelopor jurnalisme modern berkebangsaan Prancis. Ia seorang jurnalis, editor, sekaligus juga pemilik beberapa media di Prancis yang memulai penerbitan koran secara massif, murah, dan kritis.
[3] Daoed Joesoef, Pikiran dan Gagasan – 10 Wacana tentang Aneka Masalah Kehidupan Bersama (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara), hlm. 268.
[4]http://internasional.kompas.com/read/2016/07/08/13300091
[5]Cindy Adams, hlm. 112
"Gouverner, c'est prevoir"
23 - 3 - 2018
Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited, whereas imagination embraces the entire world, stimulating progress, giving birth to evolution. It is, strictly speaking, a real factor in scientific research.
Albert Einstein, dalam “Cosmic Religion and Other Opinions and Aphorisms”, 1931