22 - 3 - 2018
Dalam tradisi Konfusius terkait dengan meritokrasi, negara harus selalu berusaha keras untuk apa yang disebut dengan ‘shangshangce’, atau memilih yang terbaik dari terbaik (the best of the best). Memilih pemimpin dengan kaliber tertinggi.[1] ‘Shangshangce’ ini –dari bincang pribadi dengan teman, tidak hanya masalah memilih pemimpin, tetapi juga sebenarnya sudah menjadi salah satu sikap hidup yang menempatkan the best of the best pada tempat terhormat. Bahkan, katakanlah seorang penjahat, akan menempati tempat terhormat jika dia penjahat besar. Bukan penjahat tanggung, apalagi kecil-kecilan kelas teri.
Dalam kolom di New York Times (2012), shangsangce ini ditulis Zhang Weiwei terkait dengan topik meritokrasi vs demokrasi. Topik demokrasi menarik bahkan sejak Platon, dimana kematian Sokrates karena demokrasi turut mendorong kegundahan Platon terhadap demokrasi. Bagi Abraham Lincoln, demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tetapi bagi Stiglitz, menyoroti demokrasi di Amerika, demokrasi ternyata dari 1% rakyat, oleh 1% rakyat, dan untuk 1% rakyat. Lepas dari nuansa-nuansa demokrasi dengan berbagai spektrumnya, meritokrasi vs demokrasi seperti diangkat oleh Zhang Weiwei di atas tetaplah menarik bagi kita, yang sejak 1998 ada keinginan kuat menegakkan demokrasi.
Shangshangce seperti disebut diatas bukanlah sekedar sebuah konsep tertulis, tetapi secara sosial terhidupi, terdukung. Refleksi Koentjaraningrat 44 tahun lalu, dimana (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya kepada diri sendiri, (4) tak berdisiplin nurni, dan (5) suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh[2], masih banyak melekat pada diri kita sebagai bangsa. Di awal reformasi, tekad menggumpal tidak hanya menegakkan demokrasi, tetapi juga memberantas KKN, korupsi-kolusi-nepotisme, hal yang lekat jika membicarakan meritokrasi. Maka, shangshangce, memilih yang terbaik dari yang terbaik untuk mengurus negara sekarang ini rasa-rasanya masihlah benang kusut.
Mengurai benang kusut ini tidaklah mudah, sebab bagi oligarki-pemburu rente, kekusutan ini justru adalah kesempatan emas. Memilih pemimpin medioker akan mempermudah mereka mengeruk kekayaan NKRI ini. Lalu apa parameter dari the best of the best dari seorang pemimpin (politik) ini?
Tentu banyak yang mesti dilihat, tetapi tahap awal untuk mengkategorikan seorang pemimpin kelas medioker atau bukan adalah hubungan antara kata dan tindakan. Ini bukan sekedar kata, ataupun masalah tindakan saja, tetapi apakah kata-kata betul-betul berhubungan dengan tindakan. Meminjam Koentjaraningrat, hal ini akan menampakkan adanya suatu sikap tanggung jawab yang kokoh. Atau tidak. *** (Mar 2018)
[1] Zhang Weiwei, China Horizon, The Glory and Dream of A Cicilizational State, World Century, 2016, hlm. 86
[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, 1985, cet-12, hlm. 45
Zhang Weiwei