20 - 3 - 2018
Menurut Ha Joon Chang, neoliberalisme yang salah satunya mendorong privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara), di jantung argumentasi melawan BUMN ini terdapat pikiran sederhana namun sangat kuat: orang tidak sepenuhnya mengurusi apapun yang bukan miliknya.[1] Hal ini penting untuk diperhatikan mengingat apa yang pernah dikatakan juga oleh Abraham J. Heschel:
“A theory about the stars never becomes a part of the being of the stars. A theory about man enters his consciousness, determines his self-understanding, and modifies his very existence. The image of man affects the nature of man”[2]
Atau penegasan dari Albert O. Hirscham dalam The Passions and the Interests:
“…..:once the idea of interest had appeared, it became a real fad as well as paradigm (á la Kuhn) and most of human action was suddenly explained by self-interest, sometimes to the point of tautology”[3]
Tulisan ini adalah tentang self-interest dan efisiensi-berkeadilan: apakah ada dan bagaimanakah hubungannya antara self-interest dan konsep efisiensi berkeadilan? Istilah efisiensi berkeadilan diambil dari UUD 1945 ayat (4) Pasal 33 Bab XIV yang merupakan hasil Perubahan Keempat UUD 1945, disahkan 10 Agustus 2002.[4]
Konsep efisiensi berkeadilan dalam UUD 1945 hasil amandemen keempat yang terkait bagaimana perekonomian nasional diselenggarakan, dalam tulisan ini akan ditunjukkan bahwa konsep ini erat hubungannya dengan self-interest, dalam arti bahwa pemahaman yang baik akan self-interest akan memberikan sebuah “bangunan struktur pendukung” dalam memahami konsep efisiensi berkeadilan itu. Tanpa pemahaman akan self-interest, efisiensi berkeadilan sebagai satu konsep dalam penyelenggaraan perekonomian nasional akan bisa jatuh pada satu pemahaman ‘pincang’, atau bahkan pada pemahaman yang menyimpang. Atau jika itu kemudian diulang-ulang sebagai wacana publik, tanpa adanya pemahaman tentang self-interest yang memadai, efisiensi berkeadilan dapat jatuh berkembang menjadi sebuah tirai asap dimana realitas penyelenggaraan perekonomian nasional yang sesungguhnya terjadi disembunyikan.
Permasalahan cukup penting untuk dimunculkan di sini terkait konsep efisiensi berkeadilan dalam Perubahan Keempat UUD 1945 dan self-interest adalah konsep dari Robet Nozick tentang minimal state, atau bahkan ultraminimal state. Tegasnya adalah, efisiensi berkeadilan sebagai konsep dalam ranah hukum negara bagaimana bisa dihubung-hubungkan dengan self-interest yang ada dalam ranah hidup individu? Terhadap masalah ini, kita dapat meminjam pendapat Adam Smith dimana ada empat kekuatan "pengontrol" self interest, seperti ditulis Klaus Mathis keempatnya adalah: (1) simpati dan impartial spectator, (2) norma-norma etik sosial, (3) hukum positif, dan (4) kompetisi. Mengutip Recktenwald, Mathis menuliskan:
“In order to protect human life and property, Smith argues, a system of positive laws is required. And in order to ensure that people apply and comply with the law, there also needs to be state with power to enforce the law.”[5]
Problematika antara self interest dan efisiensi berkeadilan di sini juga bisa digambarkan dengan meminjam pembedaan yang dibuat oleh Aristoteles mengenai ‘oikonomia’ dan ‘chrematistics’. Oikonomia yang merupakan akar kata dari kata ekonomi sekarang ini, dalam perspektif Aristoteles berkaitan dengan manajemen keluarga dalam upaya meningkatkan kesejahteraan semua anggota-anggota keluarga untuk jangka waktu lama. Jangkauan keluarga dalam hal ini bisa diperluas dalam bentuk komunitas yang lebih luas, maka oikonomiapun kemudian bisa juga berarti ‘ekonomi untuk komunitas’, dan komunitas bangsa dalam satu negara tentu juga termasuk di dalamnya. Sedangkan chrematistics –berlawanan dengan oikonomia, berkaitan dengan segala upaya untuk mengusahakan atau memanipulasi properti dan kekayaan demi memaksimalkan nilai tukarnya dalam jangka pendek yang ini tentu akan dinikmati oleh pemiliknya sendiri. Aktifitas di bursa saham dan keuangan seperti yang terjadi di Wall Street merupakan contoh chrematistics dalam bentuk yang paling murni.[6]
Self Interest
Sebelum mencoba melacak keterkaitan atau hubungan antara self interest dan efisiensi berkeadilan, ada baiknya digambarkan lebih dahulu bagaimana konsep self interest ini berkembang dari waktu ke waktu.
Kira-kira dua abad sebelum Plato (427-347 SM) lahir, terjadi perubahan politik dari sistem tirani ke sistem demokrasi di banyak polis Yunani (terutama di Athena).[7] Perubahan-perubahan yang menggeser politik menjadi duduk menempati tempat terhormat ini juga memunculkan kaum Sofis, kelompok pendidik yang menyiapkan warga muda sebelum masuk kedalam kehidupan politik. Para kaum Sofis inilah sasaran kritik Sokrates, guru Plato dan Plato sendiri. Bagi kaum Sofis, yang penting dan pertama-tama adalah memenangkan perdebatan, sedangkan bagi Plato, orang-orang yang dididik untuk duduk di pemerintahan pertama-tama harus tahu bagaimana masyarakat harus di kelola.[8] Bagi kaum Sofis, keadilan adalah keuntungan atau milik dari yang lebih kuat[9], sedangkan bagi Plato, keadilan terkait dengan kemampuan kontrol diri dan keharmonisan dari nalar (reason), semangat (spirit) dan nafsu (appetite) di mana nalar menjadi yang mengatur semangat dan nafsu.[10]
Menurut H.D.P. Lee, tema sentral dari Republic adalah fisuf raja (the philosopher ruler)[11], dan ini menunjukkan bahwa Plato juga memandang bahwa masyarakat atau polis waktu itu, tata kelolanya juga harus berdasarkan keharmonisan antara nalar, semangat dan nafsu di mana nalar dalam hal ini adalah filsuf raja sebagai yang memimpin atau mengontrol semangat (tentara) dan nafsu / appetite (misalnya pedagang, petani). Demikian juga dengan halnya self-interest, bagi Plato self-interest tidak lepas dari keharmonisan nalar, semangat dan nafsu.
Plato menempatkan self-interest dalam kerangka keseluruhan polis seperti yang ditunjukkan di bawah ini:
“… the purpose of all that happens is what we have said, to win bliss for the life of the whole; it is not made for you, but you for it. For any physician or craftsman in any profession does all his work for the sake of some whole, but the part he fashions for sake of the whole, to contribute to general good, not the whole for the part’s sake.”[12]
Plato juga memperingatkan terkait dengan cinta diri (self-love), bahwa “Mata dari yang sedang mencinta akan buta saat memperhatikan yang dicintainya, manusia akan mempunyai pertimbangan yang buruk tentang yang benar, yang baik, tentang kehormatan, ketika ia dalam kesombongan yang lebih menempatkan penghargaan atas hak-hak personalnya dari pada kepada sebuah keharmonisan …”[13]
Aristoteles (384-322 SM) berumur 37 tahun saat Plato meninggal. Sama dengan Plato, self-interest bagi Aristoteles tidak lepas dari hidup bersama atau polis. Aristoteles membedakan cinta diri (self-love) yang buruk dan cinta diri yang baik juga dalam kaitannya dengan hidup bersama ini. Apa yang seharusnya dikerjakan oleh orang-orang baik; untuk sebuah nalar yang selalu memilih hal-hal terbaik, (maka) orang baik akan mematuhi nalarnya. Tetapi benar juga, masih menurut Aristoteles, bahwa orang baik akan melakukan banyak tindakan-tindakan demi sahabat-sahabatnya dan negaranya, dan jika diperlukan mati demi mereka,
“what the good man ought to do he does; for the intellect always chooses what is best for itself, and the good man obeys his intellect. It is true of the good man too that he does many acts for the sake of his friends and his country, and if necessary dies for them; ”[14]
Cinta diri yang buruk, bagi Aristoteles ketika orang-orang rakus dengan barang-barang untuk memuaskan nafsu-nafsunya, perasaan-perasaan mereka pada umumnya dan elemen irrasional dari jiwa mereka.[15]
Meski Aristoteles mengkaitkan self-interest dengan hidup bersama, polis, Aristoteles menolak masalah milik pribadi kemudian dibagi sebagai hal yang terkait dengan kepentingan dari diri-pribadi dan masyarakat. Orang tanpa milik pribadi atau barang-barang yang dipunyainya, menurut Aristoteles: “…it is impossible, or not easy, to do noble acts without the proper equipment.”[16] Bagi Aristoteles, negaralah yang semestinya mengatur masalah milik pribadi ini, apakah merupakan kegunaan pribadi atau terkait dengan kepentingan umum. Menurut Aristoteles, “adalah jelas bahwa barang-barang sebaiknya dimiliki secara pribadi, tetapi penggunaannya untuk kepentingan umum; (ini) adalah urusan istimewa dari pembuat hukum atau undang-undang untuk membuat bagaimana ada dalam diri orang-orang kebaikan ini,”
“It is clearly better that property should be private, but the use of it common; and the special business of the legislator is to create in men this benevolent disposition.”[17]
Tetapi Aristoteles juga mengingatkan, meski kebaikan yang lebih, atau pelayanan lebih bagi teman, atau tamu-tamu, atau kelompok, dapat ditingkatkan ketika orang-orang mempunyai milik pribadi, keuntungan-keuntungan ini akan hilang ketika negara melakukan unifikasi secara berlebihan,
“there is the greatest pleasure in doing kindness or service to friends or guests or companions, which can only be rendered when man has private property. These advantages are lost by excessive unification of the state.”[18]
Nalar (reason) pada Abad Pertengahan, karena pengaruh Kristianitas kemudian ‘diganti’ dengan Tuhan. Agustinus (354-430) membedakan self interest atau self-love ke dalam tiga bentuk, (1) dalam arti negatif berkitan dengan kebanggaan, kehormatan-keagungan diri sendiri, demi kepuasan diri yang lepas dari Tuhan. Kesombongan diri inilah yang menyebabkan Adam jatuh ke dalam dosa, (2) dalam bentuk netral yang alamiah, yaitu untuk bertahan hidup, dan (3) dalam bentuk positif yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh merupakan cinta akan diri, tetapi adalah cinta pada Tuhan, atau dapat juga dikatakan sebagai cinta diri melalui cinta pada Tuhan.[19]
Konsep self interest menurut Thomas Aquinas (1224-1274) juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Kristiani selain juga Aristoteles, dan dalam beberapa hal banyak pemikiran Aquinas merupakan kritik dan sekaligus pengembangan dari konsep self interest Agustinus. Konsep self interest Thomas Aquinas terutama lebih memfokuskan pada keadaan setelah kehidupan, lebih pada hubungan manusia dengan Tuhan dari pada hubungan manusia dengan dirinya sendiri.[20]
Memasuki era modern, konsep self interest mulai dilepaskan dari konsep Tuhan. Bagi Thomas Hobbes (1588-1679) nalar (reason) yang menduduki tempat penting dalam bangunan self interest di era Yunani seperti pada pemikiran Plato dan Aristoteles, telah kehilangan tempatnya dan digantikan dengan nafsu-nafsu. Hobbes juga melepaskan keterkaitan self interest dengan kekuatan-kekuatan supranatural sepertihalnya Tuhan. Berbeda dengan Agustinus dan Aquinas, bagi Hobbes hanya ada satu bentuk self-love, dan itu adalah fenomena alamiah yaitu self-love dalam bertahan hidup, dan tidak ada hubungannya dengan dosa, tetapi ini adalah “hak pertama alamiah” manusia.[21]
Bagi Adam Smith (1723-1790), self interest merupakan motivasi sentral dalam diri manusia secara alamiah. Satu penggalan tulisan terkenal dari Adam Smith yang menggambarkan bagaimana pentingnya self interest dalam pemikiran Smith adalah sebagai berikut:
It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker, that we except our dinner, but from their regard to their own interest.”[22]
Konsep self interest di era modern semakin menjadi pusat penjelas bagi berbagai fenomena yang berkembang. Dalam The Passions and the Interest, Albert Hirscham menunjukkan semakin meningkatnya konsep self interest ini pada abad 17 dan 18. Hirschman menunjukkan bagaimana konsep self interest ini tidak hanya menjadi alat penjelas bagi perilaku penguasa, tetapi juga bagi keseluruhan hubungan manusia. P.H. d’Holbach dalam A Tratise on Man (1773) bahkan mengatakan bahwa, “self interest is the only motive of human action”.[23]
Ayn Rand (1905-1982), seorang pemikir Amerika kelahiran Rusia dalam The Fountainhead mengatakan bahwa, hak pertama yang ada di atas bumi ini adalah hak untuk sebuah ego. Tugas manusia yang pertama-tama adalah untuk dirinya sendiri.[24] Rand menuding kesalahan umum yang mengatakan bahwa ego adalah sinonim dengan kejahatan atau setan, sedangkan laku yang tidak memikirkan diri sendiri sebagai keutamaan yang ideal.[25] Terhadap pertanyaan, apa yang sebenarnya kehidupan manusia itu sehingga ia memberikan satu kebutuhan akan sebuah kode-kode moralitas? Ayn Rand berpendapat bahwa, manusia adalah makluk “volitional consciousness”, makluk yang sadar atas kehendak-kehendaknya sendiri. Manusia harus menggunakan nalar untuk bisa bertahan hidup, menggunakan kode nilai-nilai untuk menuntun tindakannya, dan kode ini adalah moralitas. Standar dari nilai moral, menurut Rand, adalah yang menyediakan untuk kehidupan dari manusia rasional.[26]
Manusia yang rasional, menurut teori pilihan rasional (rational choice theory) yang sekarang ini berkembang luas, memerlukan dua hal dari pelaku, yaitu (1) tindakan semestinya merupakan ekspresi atau berdasarkan dari pemeringkatan yang dilakukan oleh pelaku –dan ini dilakukan secara konsisten, dan (2) tuntutan akan maksimalisasi kepentingan diri. Self interest yang berupakan basis dari teori pilihan rasional haruslah selalu terkait dengan dua hal itu jika ingin disebut sebagai rasional.[27]
Efisiensi Berkeadilan
Efisiensi jika kita mengambil arti dalam kamus: “when someone or something uses time and energy well, without wasting any”[28], maka melihat berbagai permasalahan di sekitar kita, efisiensi memang diperlukan. Bagaimana pengelolaan pelabuhan yang tidak efisien karena terlalu banyak biaya-biaya tidak resmi, atau penggunaan waktu dan standar operasional tidak sinkron antara satu bagian dengan bagian lain akan berakibat meningkatkan biaya penerimaan dan pengiriman barang, dan dampak selanjutnya adalah berkurangnya daya saing produk-produk dalam negeri dibandingkan dengan buatan luar negeri, misalnya. Tetapi bagaimana jika efisiensi menjadi satu konsep dengan keadilan, efisiensi berkeadilan, dan itu ada dalam ranah bangunan perekonomian nasional? Di mana perekonomian nasional yang tercantum dalam sebuah Undang-undang Dasar akan selalu mengandaikan adanya kepentingan nasional di sini?
Problematika antara efisiensi dan keadilan, seperti yang ditunjukkan oleh Arthur M. Okun dalam bukunya Equality and Efficiency: The Big Tradeoff (1975), seperti dikutip oleh Mathis:
“… the antagonism between efficiency and distributive justice as the greatest socioeconomics goal conflict of all, because the concept of efficiency follows the principle of the insatiability of needs: This concept of efficiency implies that more is better, insofar as the ‘more’ consists of items that people want to buy”[29]
Tetapi di satu pihak, seperti contoh di atas yaitu pengelolaan pelabuhan yang tidak efisien, pada ujungnya adalah juga terkait dengan ketidak-adilan bagi para pengusaha pengguna jasa pelabuhan. Atau contoh lain yaitu penghamburan budget negara untuk pembelian mobil-mobil dinas mewah, padahal keperluan perbaikan sekolah-sekolah bagi rakyat masih diperlukan. Dengan mengambil salah satu contoh di Swiss, Klaus Mathis kemudian menarik kesimpulan bahwa efisiensi adalah selalu menjadi salah satu aturan atau bagian dari keadilan.[30]
Banyak aspek yang sebenarnya terkait dengan konsep efisiensi dan konsep keadilan, dan juga problematika di antara keduanya, seperti dikatakan oleh Mathis, ada tiga kemungkinan ketika efisiensi dan keadilan yang keduanya mempunyai tujuannya masing-masing, disandingkan, yaitu (1) terjadi harmoni, (2) netral, dan (3) munculnya konflik diantara tujuan-tujuan keduanya. Hal ini ditegaskan oleh Mathis dengan mengutip pendapat Arthur M. Okun:
[The] tradeoff […] between equality and efficiency […] is, in my view, our biggest socioeconomic tradeoff, and it plagues us in dozens of dimension of social policy. We can’t have our cake market efficiency and share it equally”[31]
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas lebih jauh tentang konsep efisiensi berkeadilan, tetapi lebih pada memaparkan beberapa problematika yang mungkin muncul terkait dengan konsep efisiensi berkeadilan ini. Kemudian akan ditunjukkan bagaimana self interest berhubungan dengan konsep efisiensi berkeadilan yang ada dalam ranah negara ini.
Self interest dan efisiensi-berkeadilan
Tesis tulisan ini adalah pemahaman yang benar akan self interest dengan segala problematikanya akan sangat membantu pada pemahaman akan konsep efisiensi berkeadilan, atau tegasnya adalah pemahaman akan problematika warga negara sebagai individu terkait dengan kepentingan-kepentingannya akan membantu pemahaman konsep-konsep yang ada dalam ranah negara.
Pada awal tulisan ini dikutip peringatan Abraham Heschel tentang konsep manusia, yaitu bagaimana konsep tentang manusia akan membentuk atau mempengaruhi keberadaan manusia. Maka kita harus hati-hati ketika manusia kemudian dicopot dari kompleksitasnya dan dicoba dijelaskan hanya sebagai homo economicus yang rasional, dalam arti sebagai makluk yang akan mampu membuat dan bertindak berdasarkan prioritas-prioritas atas hasrat-keinginannya secara konsisten dan bagaimana memaksimalkan itu bagi kepentingan dirinya sendiri. Jika ini yang terjadi dan kemudian mengkondisikan manusia-manusia Indonesia ketika berhadapan dengan UUD yang di dalamnya mempunyai pasal tentang efisiensi berkeadilan dalam kebijakan perekonomian nasionalnya, maka pemahaman akan konsep efisiensi berkeadilan akan sulit dicapai.
Berkaitan dengan permasalahan di atas maka kita bisa meminjam pemikiran Amartya Sen yang memberikan kritik atas konsep manusia rasional di atas.
Ide tentang pilihan rasional (rational choice) mesti diletakkan di atas penggunaan bahwa pilihan-pilihan itu adalah berdasarkan nalar (reason). Tetapi bagaimana domain nalar itu digunakan bisa berbeda-beda antara satu pemikiran dengan yang lain, misalnya diterapkan hanya pada menyeleksi alternatif-alternatif yang diberikan oleh preferensi seseorang atas alternatif-alternatif itu, atau juga digunakan dalam menentukan preferensi-preferensi itu sendiri.
Dalam apa yang disebut dengan “teori pilihan rasional”, menurut Sen, fokus adalah pada karakteristik dari rasionalitas pilihan sebagai maksimalisasi dari self interest. Sen membedakan tiga jalan di mana self menjadi pusat bagi preferensi seseorang dan pilihan-pilihannya dapat dipahami, (1) “self-centered welfare”; (2) self-welfare goal” dan (3) “self-goal choice”.[32]
“Self-centered welfare” (kesejahteraan yang berpusat pada diri): kesejahteraan seseorang tergantung hanya pada pemenuhan kebutuhan dirinya sendiri (dan secara khusus, tidak melibatkan simpati atau antipati pada orang lain), “self-welfare goal” (tujuan yang berpusat pada kesejahteraan diri): satu-satunya tujuan adalah maksimalisasi kesejahteraan diri, atau –mengingat kondisi ketidak pastian – nilai diharapkan dari kesejahteraan diri itu (dan secara khusus, tidak melibatkan secara langsung pentingnya kesejahteraan orang lain), sedangkan “self-goal choice” (pilihan yang berpusat pada tujuan diri): setiap tindakan memilih secara langsung digerakkan oleh pengejaran diri (dan secara khusus, tidak dihambat oleh pengakuan akan pengejaran tujuan-tujuan yang dilakukan orang lain)[33] Premis “self-goal choice” ini menutup kemungkinan terjadinya tindakan / pilihan yang dipengaruhi atau juga mengakomodasi tujuan-tujuan orang lain, dan dengan demikian juga menutup kemungkinan tindakan / pilihan tindakan menurut aturan sosial, tradisi, loyalitas, komitmen, solidaritas, dan semacamnya.[34]
Amartya Sen dalam kerangka kritiknya kepada teori pilihan rasional, membedakan antara simpati dan komitmen, dimana keduanya dapat juga menjadi dasar bagi perilaku manusia selain ketiga hal yang sudah disebut Sen di atas. Simpati (termasuk antipati dalam arti yang negatif) menunjuk pada “seseorang yang mampu mengambil posisi pada posisi orang lain”, misalnya ia merasa tertekan ketika melihat kesengsaraan orang lain. Sedangkan komitmen merupakan putusnya atau retaknya hubungan erat antara kesejahteraan/kepentingan diri (dengan atau tanpa simpati) dengan tindakan-tindakan dalam memilih.[35] Simpati dalam hal ini jelas akan mengganggu self-centered welfare, sedangkan komitmen dapat mengambil bentuk baru dari modifikasi tujuan-tujuan orang-orang.
Sen menunjukkan bukti bagaimana simpati dan komitmen dapat juga menjadi basis bagi rasionalitas selain klaim teori pilihan rasional yang menempatkan maksimalisasi self interest sebagai satu-satunya basis rasionalitas. Sen menunjuk pengalaman Jepang, atau yang disebut oleh Michio Morishima (1982) sebagai “the Japanese ethos”. Menurut Sen, kesuksesan ekonomi pasar bebas seperti di Jepang, dalam membangun efisiensi juga melibatkan pada teori self-interest dalam banyak fakta-faktanya. Tetapi bagaimanapun juga, kesuksesan pasar bebas itu tidak serta merta memberitahukan kepada kita tentang apa-apa yang menjadi motivasi di belakang tindakan-tindakan ekonomi dari warga Jepang sebagai agen pelaku dalam ekonomi tersebut. Menurut Sen,
“Indeed, in the case of Japan, there is strong empirical evidence to suggest that systematic departures from self-interest behaviour in the direction of duty, loyalty and goodwill have played a substantial part in industrial success.”[36]
Dengan pemahaman yang lebih luas terhadap self interest melalui pemikiran-pemikiran Amartya Sen ini, kiranya ini dapat menjadi “struktur bangunan” yang akan menjadi salah satu dasar penting bagi kita dalam memahami konsep efisiensi berkeadilan yang masuk ranah negara melalui amandemen keempat UUD 1945. Atau dalam bahasa George Lakoff, pemahaman problematika self interest yang disodorkan oleh Amartya Sen ini dapat menjadi “deep frame” bagi kita sebagai warga negara Indonesia ketika konsep efisiensi berkeadilan yang pasti menuntut realisasinya karena tercantum dalam UUD, hadir memasuki kesadaran kita sebagai “surface frame”. Tegasnya, kita harus selalu ingat pada peringatan Lakoff: “Without deep frames, there is nothing for surface frames to hang on to.”[37]
Sebagai catatan akhir, apapun itu, frasa “efisiensi berkeadilan” ini perlu pendalaman lebih lanjut, apalagi itu ada di UUD kita. *** (Juli-2011)
[1] Chang, Ha-Joon, 2008, Bad Samaritans. Negara-negara Kaya, Kebijakan-kebijakan Buruk, dan Ancaman Bagi Dunia Berkembang, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, hlm. 126
[2] Heschel, Abraham J., 1965, Who Is Man?,
[3] Hirschman, Albert O., 1996, The Passions and the Interests. Political Arguments for Capitalism before Its Triumph, Twentieth Anniversary Edition,
[4] Tim Redaksi Nunsa Aulia, 2009, UUD’ 45. Sebelum dan Sesudah Amandemen,
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keeimbangan kemajuan dan kesatuan ekonom”.
[5] Mathis, Klaus,2009, Efficiency Instead of Justice? Sarching for the Philosophical Foundations of the Economic Analysis of Law, Springer, hlm. 91
[6] Daly, H.E., Cobb, John B., Cobb, Clifford W., 1994, For the Common Good: Redirecting the Economy Toward Community, the Environment, and a Sustainable Future,
[7] Wibowo, Setyo A., 2010, Arete: Hidup Sukses Menurut Platon,
[8] Lee, G.D.P., Introduction, dalam Plato, Republic, Penguin Books, 1969, hlm. 16
[9] Rogers, Kelly, 1997, Self-Interest An Anthology of Philosohical Perspectives,
[10] Ibid, hlm. 19
[11] Lee, G.D.P., Introduction, dalam Plato, Republic, Penguin Books, 1969, hlm. 42
[12] Rogers, Kelly, 1997, ….. hlm. 22
[13] Ibid, “The eye of love is blind where the beloved is concerned, and so a man proves a bad judge of right, good, honor, in the conceit that more regard is due to his personality than to real fact…”
[14] Rogers, Kelly, 1997, ……, hlm. 29
[15] Ibid, hlm. 28
[16] Ibid, hlm. 24
[17] Ibid, hlm. 29
[18] Ibid, hlm. 30
[19] Ibid, hlm. 48-49
[20] Ibid, hlm. 51
[21] Ibid, hlm. 75
[22] Ibid, hlm. 157
[23] Force,
[24] Rand, Ayn, 1961, For The New Intelectual. The Philosophy of
[25] Ibid, hlm. 81
[26] Rogers, Kelly, 1997 ….. hlm. 226
[27] Peter, Fabienne, Schmid, Hans Bernhard (ed), 2007, Rationality and Commitment,
[28] Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 3rd ed,
[29] Mathis, Klaus,2009,…….., hlm. 195
[30] Ibid, hlm. 204
[31] Ibid, hlm. 185
[32] Sen, Amartya, Why Exactly is Commitment Important for Ratinality, dalam Peter, Fabienne, Schmid, Hans Bernhard (ed), 2007, Rationality and Commitment, Oxford: Oxford University Press, hlm. 17-18
[33] Herry-Priyono, B., 2010, Amartya Sen Membongkar Rasionalitas, Bahan Extension Course Filsafat,
[34] Ibid, hlm. 12
[35] Sen, Amartya, Why Exactly is Commitment Important for Ratinality, 2007, ….. hlm. 19
[36] Sen, Amartya, 2004, On Ethics and Economy,
[37] Lakoff, George, 2006, Thinking Points: Communicating Our American Values and Vision, Chapter 3, http:/www.rockridgeinstitute.org, diunduh Desember 2008