20 - 3 - 2018
Inovasi dalam seni cetak pertama kali dikembangkan oleh Bi Sheng dari China antara tahun 1041 – 1048. Tetapi, Johann Gutenberg-lah yang diakui sampai sekarang sebagai penemu mesin cetak di tahun 1445-an. Mesin cetak yang dikembangkan oleh Gutenberg ini adalah mesin cetak tipe logam (sebelumnya telah berkembang mesin cetak kayu) yang mudah dipindah-pindahkan. Alat penekan cetakan itu sendiri -yang penting untuk mendapatkan huruf cetak yang jelas dan bahkan mencetak seluruh halaman, adalah suatu adaptasi dari sekrup alat pemeras yang sudah akrab dalam pemerasan anggur dan penerapan-penerapan lain. Mesin cetak ini memungkinkan suatu pencetakan dengan waktu yang cepat dan dalam jumlah yang banyak. Pada tahun 1500 hampir 40.000 edisi buku buku telah dicetak di 14 negara, dua per tiga dihasilkan oleh Jerman dan Italia.[1]
Memerlukan waktu hampir dua ratus tahun sejak dikembangkan Gutenberg, atau sekitar tahun 1624 mesin cetak hadir di Indonesia (Hindia Belanda), dibawa langsung dari Belanda. Sampai tahun 1659, atau sekitar 35 tahun mesin itu nganggur karena tidak ada tenaga yang cukup trampil untuk menjalankan. Pada tahun 1659, Kornelis Pijl memprakarsai percetakan dengan memproduksi sebuah Tijtboek, yakni sejenis almanak atau “buku waktu”. Muncul lagi hasil cetakan tahun 1668, ketika Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanudin di Makasar pada 15 Maret 1668 menandatangani Perjanjian Bongaya, suatu perjanjian perdamaian. Dokumen perjanjian itu kemudian dicetak oleh Hendrick Brant yang pada Agustus 1668 mendapat kontrak mencetak dan menjilid buku atas nama VOC. Andreas Lambertus Loderus, pada tahun 1699 memulai percetakan dan mencetak beberapa karya dalam bahasa Belanda, Melayu dan Latin, termasuk sebuah kamus Latin-Belanda-Melayu yang disusun oleh Loderus sendiri.[2]
Bataviase Nouvelles adalah surat kabar pertama di Hindia Belanda, yang contoh surat kabar itu dicetak 8 Agustus 1744. Bataviase Nouvells hanya terdiri dari selembar kertas folio, yang kedua halamannya masing-masing berisi dua kolom dan terbit setiap Senin. Selain maklumat pemerintah, surat kabar itu berisi juga iklan dan pengumuman lelang. Sirkulasi surat kabar itu terbatas di kalangan pegawai VOC dan komunitas kecil Eropa. Surat kabar yang bersentuhan dengan orang Indonesia adalah Vendu Nieuws, yang terbit pada 1776. Vendu Nieuws sebetulnya merupakan media iklan mingguan, terutama mengenai berita lelang. Dikenal oleh masyarakat setempat sebagai “soerat lelang”. Vendu Nieuws merupakan surat kabar kedua dan terakhir yang terbit selama masa VOC. Pada 31 Desember 1799, VOC serta harta benda dan utang piutangnya – menyusul berakhirnya masa kontrak, secara resmi dialihkan ke Bataafse Republiek (pemerintahan Belanda di bawah pendudukan Perancis, 1795-1806). Dengan itu pemerintahan Hindia Belanda berada di bawah yurisdiksi pemerintahan Belanda. Vendu Nieuws menghentikan penerbitannya pada 1809 semasa pemerintahan Jenderal Herman Willem Daendels.[3]
Pada kuartal kedua abad 19, mulai babak baru persurat kabaran di Hindia Belanda, yaitu dimulainya percetakan milik swasta dan tampilnya koran yang juga diusahakan oleh swasta. Tahun 1825, di Batavia terbit Bataviaasch Advertentieblad. Surat kabar lain yang berorientasi komersial, Nederlandsch Indisch Handelsblad, terbit di Batavia pada 1829. Di Surabaya, muncul surat kabar pertama dalam bentuk mingguan, Soerabayasche Courant pada 1837. Tahun 1845 di Semarang terbit mingguan media periklanan dengan nama Samarangsch Advertentieblad, yang pada 1852 berganti nama menjadi De Locomotief. Tahun 1946 terbit lagi surat kabar Samarangsche Courants. Tahun 1856, tidak kurang 16 surat kabar muncul di Hindia Belanda, sepuluh dimiliki swasta.[4]
Semua surat kabar dan berkala yang terbit sebelum 1855 menggunakan bahasa Belanda. Tingginya tingkat buta huruf di kalangan pribumi menyebabkan penerbitan dalam bahasa anak negeri sulit dibayangkan pada periode ini. Hingga 1850, perhatian pemerintah terhadap pendidikan pribumi hanya terbatas pada pribumi Kristen di Maluku. Sejarah pers berbahasa daerah di Indonesia dimulai ketika mingguan berbahasa Jawa, Bromartani, meluncurkan penerbitan perdananya pada 25 januari 1855. Bromartani didirikan setelah UU tahun 1854 (Regeerings Reglement) yang memberikan kelonggaran pers di Hindia diumumkan. Dengan diumumkannya UU Pers 1856, maka kemajuan pers semakin di dorong. Sebelumnya, pemerintah mempunyai wewenang melarang barang cetakan apa saja semau-maunya.[5]
Tahun 1856 di Surabaya, E. Fuhri menerbitkan surat kabar pertama berbahasa Melayu, Soerat Kabar Bahasa Melajoe, yang edisi pertamanya terbit 5 Januari 1856 dan direncanakan terbit setiap hari Sabtu. Karena jumlah pelanggan tidak bertambah banyak, maka surat kabar tersebut berhenti terbit setelah edisinya yang ke-13, artinya bertahan sekitar tiga bulan. Pada tahun 1856 juga, terbit jurnal bulanan berbahasa Melayu di Rotterdam, Bintang Oetara, yang terbit perdana 5 Februari 1856. Tanggal 3 April 1858, di Batavia terbit Soerat Kabar Betawi yang juga berbahasa Melayu. Sayang pada tahun itu juga surat kabar itu berhenti terbit, sama nasibnya dengan Soerat Kabar Bahasa Melajoe yang terbit di Surabaya sebelumnya. Periode 1855 -1860 menandai fase pertama sejarah pers di Indonesia. Pada periode itu terbit tiga surat kabar mingguan dan dua penerbitan berkala.[6]
Pembukaan jaringan telegram pada 1856 dan diperkenalkannya jasa pelayanan pos yang modern pada 1862, diikuti oleh pembukaan jalur kereta api pertama pada 1867, secara tidak langsung memfasilitasi perkembangan pers. Dasawarsa antara 1860 dan 1870 adalah periode konsolidasi bagi pers. Dari lima surat kabar di Jawa, Bintang Timoer, Selompret Melajoe, Djoeroemartani, Bintang Barat, dan Biang-Lala serta satu di Minahasa, Tjahaja Siang; Bintang Timoer dan Selompret Melajoe yang paling hidup. Oplah atau sirkulasi saat itu setiap kali terbit maksimal adalah antara 400 – 800 eksemplar.[7] . Selompret Melajoe sempat bertahan sampai 51 tahun (!), dan berhenti terbit tahun 1911.
Pendidikan dan Pers yang terdukung
Melihat gambaran perkembangan pers di Indonesia (Hindia Belanda) di atas, maka dapat dilihat disini bahwa berkembangnya pers memerlukan paling tidak tiga syarat, yaitu syarat / kondisi politis, syarat / kondisi teknis dan syarat / kondisi sosial. Kondisi politis pada tahun 1624 memungkinkan mesin cetak hadir di Hindia Belanda, tetapi karena tidak adanya prasyarat teknis (yang menjalankan mesin cetak), maka kehadiran mesin cetak itupun tidak memberikan pengaruh apa-apa bagi masyarakat sekitar. Dan jika dilihat ketika surat kabar mulai berkembang di abad 19, kondisi politis formal terpenuhi , terlebih dengan adanya UU Pers ; kondisi teknis relatif terpenuhi juga dengan semakin banyaknya percetakan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta sekaligus dengan tenaga-tenaga trampil dan berkembangnya pengorganisasian ; ternyata hal tersebut masih belum melahirkan pers yang kuat. Surat kabar timbul tenggelam sebagian besar disebabkan pelanggan masih sangat sedikit. Ini berarti syarat / kondisi sosial bagi berkembangnya pers yang kuat memang belum tersedia.
Inovasi mesin cetak oleh Gutenberg dimungkinkan karena Gutenberg hidup dalam masyarakat yang “mendukung” dia melakukan inovasi-inovasi tersebut. Budaya, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dimana Gutenberg hidup telah memberikan ruang terciptanya mesin cetak. Atau dapat dikatakan bahwa di dalam mesin cetak tersebut telah melekat nilai-nilai atau budaya masyarakat dimana mesin cetak tersebut terlahir. Maka ketika mesin cetak tersebut diboyong untuk diterapkan diluar daerah dimana ia dilahirkan, diperlukan prasyarat yang kompatibel terhadapnya. Atau dia akan “memaksa” masyarakat yang ada disekitarnya merubah diri menyesuaikan tuntutan-tuntutan budaya atau nilai-nilai yang dibawanya.
Pada titik ini, peran strategis Politik Etis (yang sebetulnya juga berarti sebagai langkah pendukung berbagai kepentingan ekonomi) khususnya mengenai pendidikan telah ikut mendorong berkembangnya pers nasional pada abad 20, dengan mengembangkan lapisan sosial baru sebagai pendukung pers. Dengan ada dan berkembangnya lapisan terdidik (a la pendidikan Barat) maka pers menjadi institusi yang terdukung.
Jika dilihat berbagai isu tentang pentingnya pendidikan bagi pribumi untuk mengejar kemajuan bangsa-bangsa Barat yang dimuat di surat kabar – surat kabar pada akhir abad 19[8], maka dorongan untuk membentuk lapisan sosial baru yang terdidik ini tidak hanya muncul sebagai keputusan politik saja (Politik Etis), tetapi pers sendiri juga aktif mendorong terwujudnya lapisan sosial yang terdidik sebagai basis pendukungnya.
Pendidikan, selain mendorong terwujudnya lapisan sosial baru yang mendukung berkembangnya pers (dan juga bagi berkembangnya kesadaran berbangsa) , pendidikan juga membuahkan kemampuan ontologis, kemampuan untuk “membuat jarak” terhadap realitas interaksi antar komunitas yang penuh dengan ketidak setaraan (yang semakin nampak sosoknya sejak tahun 1870, ketika modal swasta asing diperkenankan masuk ke Hindia Belanda berdasarkan UU Agraria / Agrarische Wet, Pernyataan Hak Tanah / Domein Verklaring dan UU Gula / Suiker Wet)[9]. Persis seperti yang diungkapkan oleh R. Kennedy, pendidikan adalah dinamit bagi kolonialisme. Kemampuan ontologis[10] ini berkembang bersamaan dengan meningkatnya lapisan elit baru (elit modern) yang berbasis pengetahuan / intelektualitas. Hal ini menandakan adanya transisi dalam masyarakat, dimana sebelumnya elit adalah kelompok raja-raja, bangsawan, priyayi yang kehadirannya berdasarkan garis keturunan.
Yang juga perlu disadari mengenai faktor pendidikan ini adalah pendidikan atau terdidiknya individu manusia selalu terjadi dalam komunitas belajar atau Fritjof Capra menyebutnya sebagai learning organization. Hancurnya pendidikan politik semasa Orde Baru adalah sebagai akibat tidak berkembangnya “komunitas belajar politik” sebagai konsekuensi dari keputusan politik floating mass, misalnya.
Mimesis, atau dunia tiru meniru, menurut Rene Girard[11] adalah merupakan faktor penting dari kehidupan manusia. Hasrat terhadap sesuatu (misal A) tidak akan muncul ketika tidak ada orang yang punya hasrat terhadap A yang bisa ditiru. Pers yang berkembang (beserta pendukungnya, seperti telegram, telepon, transportasi) telah menyediakan berbagai model, termasuk model-model mengenai ketidaksetaraan dan model-model kesetaraan. Juga dalam hal ini adalah bagi pribumi yang mendapat kesempatan belajar di luar negeri, kesempatan untuk bersentuhan langsung dengan berbagai model membuat kemampuan mengkonstruksi antitesis dari realitas ketidak setaraan menjadi semakin tajam.
Menilik hasil penelitian dari Elizabeth L. Eisenstein (1979) mengenai dampak perpindahan dari manuskrip ke media cetak (penelitian tentang perubahan-perubahan dalam masyarakat Eropa setelah Gutenberg menemukan mesin cetak) maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan masyarakat akan tersusun dan berkembang berkaitan dengan perkembangan cara mereka berinteraksi. Dengan berkembangnya media cetak, informasi dan ide bisa disimpan (dan terakumulasi – interaksi dengan masa lalu menjadi lebih bermakna dan lebih terbuka dilakukan interaksi yang setara karena informasi atau ide di masa lalu lebih mudah untuk dikritisi di masa sekarang) dan didistribusikan secara luas (dulu terjadi ketidak setaraan karena informasi hanya dipegang oleh elit tertentu / pemuka agama saja). Juga perdebatan dan pengembangan ide dimungkinkan. Dan dari uraian diatas, dengan berkembangnya pers atau hasil cetakan lainnya di Hindia Belanda, perlahan-lahan perkembangan masyarakat telah memasuki masa transisi menuju bentuk masyarakat baru. Paling tidak, nuansa masyarakat feodal mulai sedikit demi sedikit berkurang denyutnya dalam kehidupan sehari-hari. ***
Dicuplik dari 100 Tahun Kesunyian, Menyongsong Satu Abad Kebangkitan Nasional, Refleksi Di Hari Sumpah Pemuda, 20 Oktober 2007
[1] Angus Buchanan, Sejarah Teknologi, 2006
[2] Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, 1995
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Greg Sudargo, Belajar Dari Sejarah Pergerakan, Praksis, Mei 2007
[10] Van Peursen, Strategi Budaya
[11] Sindhunata, Kambing Hitam, 2006