16-11-2020
Para ‘pengkhotbah’ politik riil itu seringnya hanya bicara soal hasrat. Sering soal otak tidak disampaikan secara jelas. Mungkinkah ia merasa sebagai si-sais yang bisa atau sedang mengendalikan emosi dan hasrat/insting[1] dalam politik? Politik riil selalu terkait dengan apa yang masih bisa dicapai, dan jangan-jangan para ‘pengkhotbah’ itu juga merasa dia yang tidak hanya merasa paling tahu tetapi juga yang mempunyai hak menentukan tinggi-rendahnya batas-batas yang masih bisa dicapai itu. Itulah sebenarnya bagian utama dari dinamika ‘internal’ dalam sebuah pakta dominasi. Batas-batas yang ditetapkan pertama-tama adalah sebagai salah satu instrumen utama dalam melanggengkan dominasi mereka. Bukan pada hidup bersama.
Memang para ‘pengkhotbah’ itu juga sadar ada di ruang antara, antara yang semestinya dan senyatanya ada. Tetapi gambaran tentang yang semestinya itu adalah versi dia. ‘Tertib tatanan’ yang semestinya ada adalah versi dia. Mereka sebenarnya tetaplah mempunyai ‘politik ideal’ yang kukuh dipegang erat. Tentu tiap-tiap komunitas mempunyai imajinasi-imajinasi sendiri tentang tertib tatanan yang semestinya. Sesuatu yang disepakati bersama. ‘Ruang antara’ sebenarnya ada diantara imajinasi yang sudah disepakati itu dengan realitas yang senyatanya berkembang. Seperti ketika ia terlempar di tengah padang pasir, ia tetaplah pada akhirnya mempunyai ‘bintang penuntun’-nya. Jika ‘bintang penuntun’ yang sudah disepakati itu diotak-atik maka akan terjadi ‘kebingungan’, dan seperti sebuah acak bisa berujung pada saling berbenturan. Yang itu dimungkinkan terjadi jika batas-batas yang sebenarnya masih bisa dicapai itu terlebih hanya ‘dipersembahkan’ pada kepentingan tertentu saja. Otak-atik 'bintang penuntun' lebih sebagai tirai asap saja. Dan ujungnya sebenarnya sangat mudah diraba, semata untuk melanggengkan pakta dominasi yang sedang mereka pegang.
Mari berandai-andai, seperti apa ‘tertib tatanan’ akan diimajinasikan jika itu pertama-tama adalah sebagai salah satu pondasi utama dari rent seeking activities? Atau katakanlah, rent seeking activities yang ‘terdukung’. Kuasa yang di-‘rental’-kan bagi kepentingan-kepentingan di luar ‘kepentingan umum’ itu? Bahkan tidak hanya silent take over seperti dikatakan Nooreena Hertz, tetapi sudah tanpa sungkan-sungkan lagi, cetho. Dan ‘khotbah’-pun akan mengalir tanpa henti, baik melalui verbal maupun bahasa tubuh. Ketika warga ingin menyatakan pendapatnya, malah ditinggal untuk melihat itik. Khéwan, cuk. Atau dengan pecingas-pecingis lempar-lempar bingkisan pada khalayak dari dalam mobil yang jalan pelan. Atau selfa-selfi di lokasi bencana. Bahkan proses ‘pengambilan gambar’-nyapun beredar luas. Tanpa sungkan. Atau lihat kata ‘mereka’, warga lokal belum bisa ini, belum bisa itu. Asu-lah.
Maka olok-olok-tanpa-henti-pun kemudian tanpa sungkan meminggirkan sindiran-sindiran. Seakan khalayak hanya mampu menghayati olok-olok vulgar dalam membicarakan ‘tertib tatanan’ bersama. Tak heran semakin berkembanglah perasaan-perasaan bahwa eranya adalah era penghinaan-penghinaan. Rasanya menjadi bukan rakyat lagi, tetapi para ‘hamba-hamba’ yang tidak mungkinlah bicara soal hal benar. Jika suatu institusi memerlukan kondisi sosial, teknis, dan politis maka yang di atas adalah bagaimana kondisi sosial ‘digarap’ habis-habisan. Direndahkan habis-habisan, diadu-domba habis-habisan, dan dicuci-otak habis-habisan. Sehingga salah satu ujungnya adalah mengkerutnya kemampuan ‘penghayatan kontra’ terhadap rent seeking activities itu.
Kondisi teknis dan politis, terutama soal aktor-aktornya tidak jauh berbeda. Dan uang kemudian menjadi instrumen utamanya. Lihat bagaimana rebutan untuk menjadi komisaris BUMN sudah tidak lagi sekedar menjadi sebuah peristiwa yang menjengkelkan, tetapi sudah menjadi ajang ‘pendidikan massal’ soal rasa-merasa suatu hidup bersama. Pembiasaan. Machiavelli mungkin berpendapat bahwa rakyat biasa itu tidaklah dilahirkan untuk berkeutamaan, tetapi untuk itu ia kemudian mengisyaratkan sebuah pendidikan. Masalahnya, pendidikan seperti apa dari ‘glorifikasi’ (meski seakan risih-mengumpat) rebutan komisaris BUMN itu. Mereka seakan tahu, dalam dominannya ‘paradigma out-put’, gebyar sebagai cerita akhir akan lebih ‘menyihir’ dari pada persoalan bagaimana atau proses gebyar itu bisa terjadi. Jika proses dipertanyakan, langsung saja dipojokkan di sudut: sirik, iri, dan sejenisnya. Kondisi politis terkait aktor-aktornya di sebagian besar juga setali-tiga-uang. Aktor-aktor di ‘partai pemenang’, ‘partai oposisi’, dan juga tidak dilupakan, ‘invisible party’ (birokrasi- istilah Alvin Toffler) semua ‘digarap’ dalam berbagai tingkatannya demi langgengnya rent seeking activities itu.
Lalu dimana letak dari otak itu? Di para konsultan? Di lembaga-lembaga think-tank? Di tangan para ‘dalang’? Otak yang sebenarnya bukan pertama-tama untuk terlibat dalam bangunan taktik-strategi, tetapi adalah soal etika. Jika pilihannya adalah ada di ujung A dan B, itu lebih pada pilihan moral. Tetapi soal etika adalah pilihan antara A dan kurang/lebih A, B dan kurang/lebih B, dan dengan itu pula perlahan kita memajukan horison hidup bersama. Jika kemampuan untuk masuk dalam ranah etis menjadi sangat berkurang karena bekunya otak, maka jangan kaget jika ‘pilihan-pilihan moral’ akan menjadi titik-berangkat bersikap dalam konteks dinamika hidup bersama. Jika itu terjadi, apa yang diungkap oleh Machiavelli-pun bisa merangkak mewujud, “But men always commit the error of not knowing where to limit their hope, and trusting to these rather than to a just measure of their resources, they are generally ruined.” Yang karena semua cermin sudah dihilangkan, maka mudah saja kemudian akan main pukul. Kekuatan kekerasan. Urik-lah. *** (16-11-2020)
[1] Dalam Alegori Kereta Perang-nya Platon