15-11-2020
Pendapat Leo Strauss tentang apa-apa yang mau disampaikan Machiavelli dalam Sang Pangeran patut kita cermati. Seperti dikutip oleh B. Herry-Priyono (2009) Strauss melukiskannya sebagai berikut:
“Ada yang secara mendasar keliru mengenai pendekatan pada politik yang memuncak dalam utopia, dalam gambaran tentang rezim terbaik yang perwujudannya sangat tidak mungkin. Sebagai gantinya (Machiavelli seolah bilang) marilah kita berhenti mulai dari perkara ‘keutamaan’ sebagai tujuan tertinggi yang mungkin dipilih masyarakat. Marilah kita berangkat dari perkara-perkara obyektif yang secara nyata dikejar oleh semua masyarakat. Machiavelli sengaja menurunkan standar dan itu dimaksud untuk mencapai kemungkinan lebih besar bagi perwujudan skema yang dibangun berdasarkan standar lebih rendah tersebut. Dengan itu ketergantungan pada ‘nasib’ (fortuna) dikurangi, nasib akan ditaklukkan.”
Dalam The Discourses on Livy, Machiavelli juga mengingatkan tak jauh dari gambaran yang diberikan Leo Strauss di atas. Ditulis Machiavelli di Buku 2 Bagian XXVII: “But men always commit the error of not knowing where to limit their hope, and trusting to these rather than to a just measure of their resources, they are generally ruined.” Dan bermacam kehancuran kita bisa melihat di berbagai peristiwa di abad-abad sebelum, terutama abad 20. Kehancuran ketika tidak bisa mengenali batas-batas dari sebuah harapan yang digendong oleh bermacam ideologi misalnya. Tapi yang menjadi masalah sebenarnya bukanlah sekedar ‘batas atas’, tetapi juga ternyata ‘batas bawah’ juga.
Cobalah kita bayangkan soal kereta api kita. Bagi penggemar kereta api sebelum Dirut-nya Jonan mungkin membayangkan apa yang bisa dicapai Jonan bersama dengan anak-anak buahnya bisa-bisa tak terbayangkan. Tetapi ternyata bisa tuh. Ternyata kita sebagai satu komunitas mampu memperbaiki dan melahirkan serta menikmati sebuah pelayanan kereta api yang nyaman. Bagaimana jika harapan yang dibangun Jonan begitu rendahnya, atau terlalu banyak ‘toleransi’ pada bermacam ‘kebocoran’ misalnya. Nurutin kesempatan ‘tembak di atas’ terutama ‘karcis berdiri’ itu. Atau yang lainnya. Tentu belumlah maksimal hasil-hasil upaya itu, dan masih saja punya potensi ‘merosot’ di kemudian hari, tetapi yang mau dikatakan di sini, terlalu rendah dalam menetapkan ‘batas bawah’-pun juga menyimpan resiko tersendiri.
Atau lihat, apakah khalayak pembayar pajak dalam berbagai bentuknya itu cukup ‘dihidangkan’ jamuan a la Ngabalin? Atau a la Fadjroel? A la tik-tok-an? Atau terus diusik sekelas Ruhut, Denny Siregar, Abu Janda, Dewi Tanjung, atau bahkan sekelas Nikita Mirzani? Tentu mereka-mereka punya hak pula tampil di ruang-ruang publik. Ruang publik jelas tidak hanya untuk ‘orang-orang berkelas’ saja. Tidak. Dan bukan itu sebenarnya masalahnya. Masalahnya, Jonan berani memutuskan untuk tidak memakai orang-orang sekelas orang-orang itu dalam membangun pelayanan kereta api yang baik. Baik langsung atau tidak. Tetapi jelas juga Jonan tidak bisa melarang orang-orang sekelas Ngabalin, Fadjroel, Ruhut, Denny Serigar, Abu Janda, Dewi Tanjung dan sejenisnya itu jika amau ngoceh apa saja soal perkereta-apian. Bahkan jika seorang macam Denny JA mau bikin survei-surveian. Suka-suka Dennylah. Itu semua tidak tergantung pada dia, dalam hal ini: Jonan. Tetapi apa yang tergantung pada ‘kuasa’ Jonan ia maksimalkan pada jalan yang benar. Pada posisi dan rentang tugas-tanggung jawabnya. Dan tentu ‘pelatihan’ dan monitoring tanpa henti juga. Jonan sebagai yang sedang memegang ‘capital tertinggi’ di ranah perkereta-apian saat itu, ia betul-betul menggunakannya secara terukur. Termasuk membangun kebiasaan-kebiasaan baru dalam ranah tersebut. Harapan akan adanya kereta api ‘super cepat’ tidak dipatok secara membabi-buta karena memang belum saatnya. Terlalu tinggi saat itu. Mungkin juga sampai sekarang. Tapi ia tidak juga mematok harapan terlalu rendah yang bisa-bisa saja cenderung ‘status quo’. ‘Ruang antara’ itu dimainkan dengan cantik, dan outcome-nyapun sangat nyata. Tidak mudah memang, apalagi para ‘penggemar’ status quo bisa-bisa tidak sedikit jumlahnya. Selain karena malas pada perubahan, bagi sebagian pihak mungkin saja ‘status quo’ itu telah memberi ’kenikmatan’ lebih selama ini.
Mematok harapan terlalu tinggi jelas sangat rentan masuk dunia ngibul. Dunia ‘sihir’. Yang tidak hanya menyihir kesadaran khalayak, tetapi juga sekaligus bisa sebagai tirai asap tebal yang menyembunyikan laku-laku mbèlgèdès. Tetapi apapun itu, entah ngibul atau ‘sihir’, seperti diingatkan oleh Machiavelli, itu bisa berujung pada sebuah kehancuran. Hancur karena fanatisme buta yang berkembang misalnya, bisa berujung pada saling bunuh. Atau paling tidak, balkanisasi.
Tentu ranah negara akan lebih kompleks dibanding dengan ranah perkereta-apian. Tetapi apapun itu pada dasarnya tidaklah jauh berbeda. Yang sedang memimpin ia pastilah ada di ‘ruang antara’ itu, in-between. Ruang antara dari yang semestinya dan senyatanya. Ruang antara yang sebenarnya adalah room for progress. Runyamnya jika salah pilih, pemimpin kelas mediokerlah yang dengan ‘nasib baik’ berhasil duduk di situ. Dan terbuktilah apa yang dikatakan Napoleon lebih dari seratus tahun lalu: “When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.” Atau saat pandemi mendekat misalnya, dan laku-laku medioker itu mencuat bergiliran, kemudian ia tanpa beban bilang: “Tidak ingin masyarakat panik ...” Panik?! Ndas-mu! *** (15-11-2020)