www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

24-09-2022

Flu Spanyol, dinamakan demikian karena yang memberitakan secara luas untuk pertama kalinya adalah media-media Spanyol. Flu Spanyol merebak tidak lepas dari Perang Dunia I, menjelang akhir. Sebenarnya flu ini ‘dibawa’ tentara-tentara Amerika dari daratan Amerika, yaitu ketika Amerika memutuskan untuk terlibat dalam Perang Dunia I, demikian salah satu sumber meyakini. Maka dikirimlah tentara-tentara AS ke daratan Eropa dengan kapal laut, beserta virus Flu Spanyol yang ada dalam tubuh tentara-tentara itu. Cerita selanjutnya adalah: merebaklah kasus di Eropa, mulai dari tentara-tentaranya, baik pihak Sekutu maupun Jerman. Meluas mulai dari sepanjang jalur perang-nya. Kasus Flu Spanyol ini cenderung ditutup-tutupi demi kepentingan perang. Spanyol yang saat itu mengambil posisi netral menjadikan ia leluasa memberitakan kasus-kasus Flu Spanyol itu yang akhirnya sampai juga mewabah di Spanyol. Dan akhirnya dunia-pun kemudian menaruh perhatian soal Flu Spanyol yang sudah berubah menjadi pandemi. Penamaan wabah sebagai Flu Spanyol lebih karena hal ini, bukan soal asal dari virusnya. Bahkan wabah sampai juga ke Hindia Belanda saat itu, sekitar tahun-tahun 1918-an. Jika memakai istilah ‘gelombang’, serangan virus ini paling tidak terjadi dalam 3 gelombang dengan varian yang semakin mematikan. Ada yang mencatat, korban meninggal akibat Flu Spanyol ini sampai sekitar 50 juta jiwa. Jauh lebih banyak dibanding korban akibat Perang Dunia I.

Meski dunia medis belum semaju seperti sekarang, tetapi pemahaman akan ‘ke-pandemi-an’ tidak kalah dari penghayatan sekarang. Juga ‘ke-kucluk-an’ di sana-sini dalam mencoba-coba ‘obat’ dalam kepanikannya. Tak jauh dari jaman now, misal soal omongan Donald Trump yang kemudian ada yang mencoba dengan terus minum cairan disinfektan itu. Macam-macam. Pada titik tertentu, setelah Perang Dunia I berakhir, Flu Spanyol ini menghilang begitu saja. Dan seratus tahun kemudian, kita secara langsung menghadapi pandemi COVID-19. Yang pada awal September lalu WHO sudah menyatakan pandemi berakhir. Setelah hampir selama 3 tahun dunia panas-dingin akibat wabah. Meski otoritas kesehatan Uni Eropa masih memberikan peringatan keras, dan belum yakin ancaman COVID-19 sudah hilang.

Pernak-pernik mewabahnya Flu Spanyol memberikan beberapa bahan refleksi. Ada perang saat itu, dan di ujung perang yang masih berkecamuk, merebak wabah Flu Spanyol itu. Mengapa wabah saat itu cenderung ditutup-tutupi? Dari sebuah film dokumenter ditayangkan perayaan kemenangan dari pihak yang menangpun begitu saja melupakan bahwa wabah masih merebak. Berkerumun di jalan-jalan, berteriak-menari sambil bawa bendera-bendera kecil tumpah ruah di jalanan, lupa ada bahaya (wabah) yang masih mengancam. Apakah memang ‘kesadaran’ kita lebih ditentukan oleh ‘situasi-situasi negatif’ yang ada di depan mata? Oleh bermacam  konflik di depan mata? Terlebih konflik yang secara telanjang lekat dengan ‘olah kuasa’?

Bagi Toynbee, peradaban berkembang karena adanya tantangan dan respon. Tetapi bagi kebanyakan apa yang disebut ‘tantangan’ itu bisa-bisa akan terhayati sebagai, katakanlah, ‘situasi-situasi negatif’. Jika  memang seperti ini, maka tidak mengherankan pula jika Toynbee kemudian menekankan peran penting dari minoritas kreatif dalam dinamika tantangan dan respon itu. Tidak banyak yang akan menghayati ‘situasi negatif’ itu sebagai tantangan, dan lebih sedikit lagi yang berhasil membangun respon dengan tepat. Dan memang kebanyakan khalayak akan mengambil rute meniru pada akhirnya. Maka tidak mengherankan pula buku-buku self-help yang bicara soal ‘berpikir positif’ itu juga mendapat sambutan ‘pasar’. Katakanlah, merubah ‘situasi negatif’ menjadi ‘tantangan’. Tetapi ketika urusannya adalah ‘massa’ maka bisa-bisa lain ceritanya. Apalagi jika latar belakangnya adalah soal kuasa.

Ketika dalam ruangan hadirin bicara sendiri, ruang menjadi pengap oleh serba-bisik itu, maka dipukullah meja keras-keras, dan tiba-tiba saja keriuhan itu berhenti, dan menoleh ke sumber suara akibat meja dipukul. Kalau mengingat pendapat Hermann Broch soal kesadaran temaram, kesadaran remang-remang, twilight state, ‘pendapat-pada-umumnya’, atau juga katakanlah ‘common sense’ akan lebih mudah akrab dengan kesadaran remang-remang itu. Take for granted. Meja dipukul keras-keras seperti contoh di atas, adalah sebuah ‘peristiwa’ yang tiba-tiba saja tidak take for granted lagi. Kesadaran remang-remang itu kemudian ‘menunggu’, dan jika yang hadir bukan meja dipukul, tetapi sebuah konflik? Layaknya sebuah Perang Dunia I seperti di atas? Atau juga katakanlah adanya ancaman terkaman dari sebuah ideologi tertentu? Atau ke-radikal-radikul-an tertentu?

Konflik berupa perang di awal abad 20 itu bahkan bisa sangat berhasil ‘menenggelamkan’ isu wabah Flu Spanyol. Yang bisa kita bayangkan bagaimana  sebenarnya kedahsyatan Flu Spanyol itu jika mengaca dari segala dampak COVID-19 di bagian awal abad 21 ini. Atau kalau kita bayangkan soal ‘wabah’ korupsi, ‘wabah’ perampasan sumber daya alam, dan  ‘wabah-wabah’ lain yang sebenarnya sejenis: penyalahgunaan kuasa, pemburuan rente gila-gilaan, dan bahkan juga sebenarnya: republik yang sudah tergadaikan itu. Maka untuk ‘menenggelamkan’ isu 'wabah' itu, perlukah para ‘story-teller’ itu kemudian mendendangkan ‘perang-konflik ideologi’? Ataukah juga ke-radikal-radikul-an? Dan akankah jika nyanyian para sirens[1] yang menyihir, atau sirens tipe yang menjengkelkan layaknya buzzerRp, pollsterRp, atau jenis-jenis sirens lainnya, tak terdengar lagi: maka tiba-tiba saja di depan mata terhampar ‘fakta material’ yang sebenarnya: tertib tatanan yang sudah sangat rusak-rusakan, bahkan bisa dibayangkan sudah mendekati state-of-nature-nya Hobbes itu? Suram, suram, suram! *** (24-09-2022)

 

[1] Dalam mitologi Yunani

 

Flu Spanyol