www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-09-2022

Jika kita bermain otak-atik-gathuk, imajinasi memang bisa liar, tetapi mengapa tidak?  Toh itu akan diuji pula dengan imajinasi-imajinasi lain, atau juga dengan realitas yang ada. Maka taruhlah kita membayangkan adanya 3 dunia menurut Karl Popper, dan bentuk-bentuk rejim yang kita kenal. Apakah kita bisa membayangkan, rejim monarki itu lebih membangun pilar-nya di dunia 3? Sedang rejim aristokrasi lebih di dunia 2? Dan rejim demokrasi lebih pada dunia-3?

Apa misalnya, esensi dari ‘intelektual organik’ gramscian itu? Misal kemudian dikontraskan oleh ‘intelektual tradisional’? Atau kita bandingkan dengan pendapat rabbi Yahudi Abraham J. Heschel dalam Who Is Man, yang menandaskan bahwa teori tentang bintang tidak akan merubah esensi dari bintang itu, tetapi teori tentang manusia akan sangat berpengaruh terhadap eksistensinya. Dalam rejim monarki ada ‘teori khusus’ tentang si-raja meski ia sama-sama manusianya dibanding dengan rakyat biasa, misalnya. ‘Teori khusus’ yang malang-melintang di dunia 1 popperian itu selama berabad-abad. Dan ‘menyihir’ khalayak dalam penghayatan akan eksistensinya. Para aristokrat-nya kemudian berperan layaknya ‘model’ yang akan ditiru khalayak supaya berhasrat pada si-raja. Dalam batas-batas bangunan ‘teori khusus’ itu.

Apakah binatang mempunyai konsep tentang ‘dunia’? Kita tidak tahu persis karena tidak bisa bahasa binatang. Tetapi dari banyak pendapat kita bisa melihat bahwa ‘dunia’ binatang itu adalah dunia adaptasi. Manusia menjadi berbeda dari binatang karena ia mampu lebih dari sekedar ber-adaptasi. Melalui bahasa. Melalui bermacam pertukaran pendapat. Juga pertukaran bermacam imajinasi. Ketika tangan manusia dibebaskan dari fungsi berjalannya, dan itu kemudian lebih memicu berkembangnya area bahasa di otak manusia. Melalui gerak-gerak motorik halus tangan. Maka ketika dunia ke-3 popperian itu adalah dunia material, dunia fisik, fisik manusia ada  bersama dengan otaknya. Otak dengan segala endapan-endapannya. Manusia dengan ‘common sense’-nya. Manusia dengan imajinasi ‘dunia’-nya yang ‘tertib-tatanan’, di tengah-tengah bermacam kekacauan yang dihadapinya. Yang sebenarnya juga dihadapi oleh spesies-spesies lainnya. Manusia yang tiba-tiba saja mampu membangun ‘horison’-nya, dan kemudian memajukannya sedikit-demi-sedikit. Dan bahkan diselingi dengan bermacam ‘patahan’ dan ‘lompatan’ itu.

Maka salah satu kunci pokok adalah bahasa. Ketika bahasa kemudian  diperlakukan semau-maunya, terlebih ketika dijauhkan dari ‘isi’-nya, maka suasana chaos-pun akan membayang. Dalam situasi seperti ini, bayang-bayang rejim monarki-pun akan menguat, dengan monopoli dunia ke-1. Dengan andalan utama adalah bermacam ’teori khusus’-nya. Dan ‘bahasa’ di kalangan ‘bawah’ atau khalayak biasa akan tidak dianggap. Tidak perlu didengar. Para ‘penguasa dunia 2’, para ‘interpretator’ yang malang-melintang di dunia 2, baik dalam menginterpretasikan dunia-1 maupun dunia 3, akan mati-matian ditarik ‘ke atas’. Menjadi bagian dari si-mono, bukan si-demos. ‘Intelektual tradisionil’ adalah idaman, ‘intelektual organik’ adalah musuh.

Karena bahasa sudah dijauhkan dari ‘isi’-nya, misal saat bahasa digunakan untuk menyampaikan janji-janji misalnya, ternyata hanya janji kosong, tidak ada ‘isi’-nya sama sekali. Ketika  ‘realitas’ bahasa semakin jauh dari ‘realitas’ sesungguhnya, maka suasana chaos-pun akan terus menggerogoti khasiat bermacam ‘teori khusus’, bermacam ‘narasi khusus’ yang terus menerus didendangkan itu. ‘Kekuatan pengetahuan’ itu  menemui batas-batasnya, dan tidak terelakkan jika maunya at-all-cost status quo, si-mono akan menggunakan kekuatan uang dan kekuatan kekerasan. Kekuatan uang yang sebenarnya sudah dilakukan sejak awal dengan bagi-bagi ‘ladang basah’ komplit dengan pembiaran korupsinya. Kekuatan kekerasan yang juga sebenarnya sudah dilakukan sejak awal, hanya saja lebih ‘bawah tanah’ sifatnya.

Tetapi di ‘dunia ke-3’ karena juga berisi manusia komplit dengan otak-nya,  suasana chaos itu perlahan juga akan ‘memaksa’ manusia-manusia di dalamnya akan mempertanyakan lagi ‘common sense’ yang selama ini telah memberikan rasa aman atau nyaman. Keretakan ini akan dipercepat oleh hadirnya para ‘intelektual organik’, yang akan menginterpretasikan dunia-3 dan dunia-1 secara lain dibandingkan dengan para ‘intelektual tradisionil’ yang  sering lebih berpihak pada si-mono dari pada berpihak pada si-demos. Bahkan mampu membangun dunia-3-nya sendiri, paling tidak sebagai tandingan dari monopoli ‘narasi khusus’ dari si-mono. Jika ini terus berkembang, maka nampaknya tinggal menunggu datangnya si-katalis saja sehingga apa yang sering kita sebut sebagai people power itu akan menampakkan dirinya. Si-katalis yang bisa bermacam bentuknya. Dalam rejim demokrasi yang dasarnya adalah dimungkinkannya adanya ‘kematian rejim’, maka salah satu katalis paling peka adalah ketika ‘kematian rejim’ itu diingkari. Ketika maunya nambah periode atau memperpanjang jabatan, misalnya. Enough is enough. *** (22-09-2022)

Rejim dan Pilarnya