www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

19-09-2022

Beberapa waktu lalu DWTV menayangkan sebuah film dokumenter tentang Taiwan, jaman now. Terlebih soal ‘status’ Taiwan sebagai sebuah komunitas berdaulat. Pada satu bagian tayangan, seorang laki-laki penerus bisnis keluarga, penyedia layanan pendidikan, lebih memilih ‘posisi’ seperti sekarang, status-quo. Merdeka secara eksplisit ya nggak, jadi bagian China daratan ya nggak. Tetapi secara penuh tetap mampu mengembangkan 'way of life'-nya sendiri dengan segala kebebasannya, termasuk kebebasan berusaha. Bahkan bisnis layanan pendidikannya juga sampai buka cabang di China daratan. Dan cabang di sana menyumbang sekitar 10%-15% pemasukan. Di bagian lain ditayangkan seorang pelarian aktivis pro-demokrasi dari Hongkong. Dan ia bercerita bagaimana iming-iming one country two system seperti dijanjikan setelah Hongkong kembali lagi ke China pasca 100 tahun ‘disewa’ Inggris, ternyata itu hanya omong kosong saja. Dan ia yakin kalau Taiwan mau saja terima tawaran one country two system, pastilah akan masuk ke rejim otoriter juga.

Di bagian lain, laporan DWTV itu menayangkan bagaimana salah satu jaringan media dilarang karena propaganda yang pro-China daratan. Juga bagaimana sekelompok orang dengan postur-tubuh tegap layaknya serdadu aktif, ikut protes supaya Taiwan juga ‘pro-vaksin dari China’, dan ternyata mereka juga mengelola jaringan digital pro-China daratan. Di sisi lain ditayangkan pula pihak yang juga aktif ber-propaganda untuk sebuah kemerdekaan penuh, keluar dari bayang-bayang status-quo, dimana merdeka secara eksplisit ya nggak, masuk sebagai bagian China daratan ya nggak. Aktivis pro-kemerdekaan itu aktif mendorong supaya Taiwan menyatakan pada dunia bahwa Taiwan telah menjadi negara-bangsa merdeka secara penuh. Dengan segala konsekuensinya.

Jika dilihat beberapa hal di atas, ada satu yang kunci, selain soal kedaulatan adalah soal ‘way of life’. Sama-sama soal ‘way of life’, Hongkong dan Taiwan tentu sangat beda. Taiwan jelas mempunyai lebih terkait dengan kedaulatan. Sama-sama ’way of life’-nya berangkat dari ‘kebebasan’ yang didorong bagaimana kekayaan diproduksi, Taiwan lebih mempunyai ‘bangunan politik’ yang lebih mampu melindungi ‘way of life’ yang berkembang. Tentu memang ‘titik berangkat’ antara Hongkong dan Taiwan berbeda, yang mau ditekankan disini adalah, bagaimana-pun politik sebagai bagian dari ‘bangunan atas’ ia tidak semata sebagai hal yang ditentukan oleh ‘basis’ semata, tetapi pada titik tertentu bahkan ia bisa sangat menentukan bagaimana dinamika ‘basis’ itu terjadi, bahkan hidup-matinya ‘basis’. Ada masanya politik dan ‘basis’ –soal relasi-relasi kekuatan produksi, seakan dalam ‘kubangan’ dialektika tuan-budak, tetapi pada titik tertentu politik mestinya mampu menegaskan diri sebagai ‘tuan’.

Maka dalam ‘way of life’ ini mestinya akan ditemukan juga –meminjam dari Loyola, nuestro modo de preceder-nya, cara-cara bertindak-nya. Ataukah bisa dibalik? Dari cara-cara bertindak, kita bisa meraba sebuah ‘way of life’? Misal, dari pilihan ‘cara bertindak’ asal njeplak, berulang dan berulang. Berbohong, berulang dan berulang. Bahkan siap membuat diri untuk bahan  olok-olok, di-dungu-dungu-in, asal bisa terus pakai baju mahal, jam tangan mewah, dan lain sebagainya? Sungguh kehormatan sudah bukan sesuatu lagi, bahkan sebagai sebuah kosa-kata sekalipun. Sudah melenyap. Apakah ‘hidup-tanpa-kehormatan’ itu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari ‘way of life’? Kucluk. Super-rusak-rusak-an. Politik di tangan kaum medioker, ‘cara-cara bertindak’nya pun sungguh sangat medioker. Pethakilan semau-maunya, pecicilan,  sok-sok-an, pecingas-pecingis sana-sini, asal njeplak, asal mangap, asal ‘njoged’, tanpa kehormatan sama sekali. Asu. *** (19-09-2022)

Negara Kesatuan Republik Tanpa Kehormatan