www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-09-2022

Bagaimana jika ‘barcode’ tidak ditemukan? Barcode yang dipatenkan tahun 1952, tujuh-puluh tahun lalu itu? Dan mulai dipakai secara massal di dekade 1970-an? Sekitar tahun Alvin Toffler merilis trilogi pertamanya, Future Shock. Yang pada buku berikutnya, Toffler mencontohkan bagaimana teknologi informasi barcode ini kemudian berperan dalam ‘power shift’. Dulu informasi terkait produk paling laku, atau bagaimana ‘nasib’ distribusi barang, yang paling tahu adalah produsen, sekarang dengan barcode, retailer dengan cepat mengetahui mana produk yang lebih laku, misalnya. Dalam manajemen mungkin ada istilah, just-in-time itu. Dan ini dengan serta-merta pula kemudian menaikkan daya tawar retailer di hadapan para produsen.

Dalam salah satu film dokumenter DWTV beberapa waktu lalu, bercerita tentang salah satu smart-city di China. Salah satu bagian menarik adalah saat wawancara dengan penduduk setempat, wanita muda tergambarkan sungguh enerjik. Masalahnya di akhir wawancara ia seakan menggambarkan sebuah ‘power shift’, katanya, pemerintah menjadi lebih tahu tentang dirinya daripada ia sendiri. Sebab ketika ia memakai fasilitas umum, ia harus scan barcode yang ada di HP-nya. Naik bis, taksi, masuk sini, masuk sana, memakai sepeda-elektrik kota, dan banyak lagi. Bayar ini bayar itu, dan seterusnya. Dan itu semua terekam oleh ‘pusat’. Bahkan ketika ia ugal-ugalan sedikit, nakal sedikit-pun bisa-bisa akan terekam pula. Dan itu ada hukuman dan hadiahnya. ‘Hadiah’ jika ia misalnya, sering pakai sepeda-listrik daripada pakai moda transportasi berbasis fosil. ‘Hukuman’ ketika ia tiba-tiba saja masuk dalam daftar ‘blacklist’. Maka adalah sah juga jika ada yang mempertanyakan ‘janji-janji’ modernisasi bagi kehidupan. Terutama bagi manusia, tetapi sebenarnya juga bagi alam dimana manusia hidup. Termasuk segala binatang dan tumbuhan di dalamnya. Seperti ‘janji-janji modernisasi’ itu tiba-tiba dipertanyakan lagi ketika dihadapkan pada kedaruratan iklim.

Bahkan di awal-awal abad Revolusi Informasi ini, kemudian dikenal istilah post-truth. Fenomena overload informasi dengan segala akibat ikutan yang sudah disinyalir Alvin Toffler di Future Shock lima-puluh tahun lalu seakan semakin nyata. “Hanya dengan mempertahankan aktualitas, keuntungan ekonomi bisa diperoleh. Keuntungan ini yang akan menjamin keberlangsungan sebuah media. Aktual, cepat, dan ringkas mendefinisikan logika waktu pendek,” demikian ditulis Haryatmoko dalam Etika Komunikasi (Kanisius, 2007). Overload  informasi, post-truth, ‘logika waktu pendek’ hanyalah beberapa penampakan dari mulai merebaknya Revolusi Informasi ini. Juga bagaimana Revolusi Informasi ini seakan mem-booster apa yang disebut Guy Debord sebagai the society of spectacle itu. Belum lagi jika kita bicara soal hoaks, dis-informasi, dan sekitar-sekitarnya itu.

Fake famous’-pun kemudian ikut-ikutan merebak. Tetapi menurut Baudrillard, seperti ditulis oleh Haryatmoko, “kita tidak bisa menyalahkan pembuat iklan karena persuasi dan mistifikasi bukan datang  dari rasa tak bersalah pembuat iklan, namun dari rasa senang pemirsa ditipu, bukan  dari hasrat operator iklan untuk merayu, tetapi hasrat pemirsa untuk dirayu. .... [Iklan] tidak mendorong untuk belajar atau mengerti, tetapi mengajak untuk berharap. Melalui iklan, peristiwa semu berubah menjadi kejadian riil sehari-hari berkat kepatuhan konsumen terhadap apa yang dikatakan iklan.”[1] *** (02-09-2022)

 

[1] Haryatmoko, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasaan, dan Pornografi, Kanisius, 2007, hlm. 27-28

Kelas Penipu Dalam Revolusi Informasi (1)