www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-08-2022

It is always a mistake to try to explain something by opposing Mafia and state: they are never rivals,” demikian menurut Guy Debord  dalam  Comments on the Society of the Spectacle.[1] Hal ini sebenarnya tidak mengherankan karena keduanya, negara dan mafia itu urusan pentingnya –terutama, sama-sama soal kekerasan. Sama-sama soal ‘perlindungan’ melalui jalan kekerasan. Negara menurut Max Weber, adalah juga pe-monopoli penggunaan kekerasan yang sah. Sedang mafia adalah juga soal ‘industri’ kekerasan.

Potensi untuk tidak pernah menempatkan mafia sebagai rival-nya negara akan selalu ada, sebab faktanya salah satu kesibukan rejim yang berkuasa itu adalah bagaimana ‘mengendalikan’ yang banyak, the rest. Baik itu rejim monarki, aristokrasi, bahkan juga demokrasi. Karena bagaimanapun, si-penguasa itu pastilah jumlahnya lebih sedikit dari yang dikuasainya. Maka si-penguasa akan senantiasa berusaha keras memahami grammar-nya, ‘tata bahasa’-nya dari 'yang banyak' itu. Dan bagaimana jika ‘tata bahasa’-nya 'yang banyak' itu bernuansa seperti digambarkan oleh Debord, the society of the spectacle? Karena berkembangnya relasi-relasi kekuatan produksi memungkinkan lahirnya khalayak seperti itu?

Merebaknya modus komunikasi mass-to-mass, terutama melalui jaringan sosial media tidak hanya mem-booster, katakanlah, the society of the spectacle,  tetapi ternyata ia menjadi ‘berkah’ pula bagi ‘yang banyak’ untuk mem-booster ‘perlawanan’. Untuk menjadi tidak mudah lagi sekadar berperan sebagai yang ‘pasif terkendali’. Untuk saling mengingatkan supaya tidak mudah terperangkap dalam ‘sihir tontonan’ belaka. Dan juga menurut Chomsky, saling-tahu-nya sentimen masing-masing banyak kalangan bisa menyulitkan rejim dalam upaya mempertahankan status-quo. Maka bagi si-pemegang rejim, ia perlu ‘pelindung’ supaya aliran tontonan bisa sungguh berkhasiat dalam menyihir ‘yang banyak’ itu. ‘Pelindung’ yang bisa saja ‘operasi-operasi’-nya sampai keluar dari koridor ‘aturan main’ yang sah. Contoh, skandal Iran-Contra dulu saat Ronald Reagen berkuasa di AS sono, beberapa tahun sebelum Comments-nya Debord terbit.

Jika ‘tontonan-sang-penguasa’ di gelar di atas panggung, maka tidak hanya faktor ‘selera’ penonton yang akan terlibat intens dalam sukses-tidaknya tontonan. Ada juga faktor, katakanlah, ‘semangat jaman’. Dalam ‘semangat jaman kosmosentris’, baik ‘sang-penguasa’ maupun khalayak penonton ada dalam ‘ruang mitis’ tertentu, yang itu juga akan menentukan bagaimana ‘gerak-panggung’ yang pas akan digelar sehingga betul-betul mampu menyihir ‘yang banyak’ itu. Dalam ‘semangat jaman teosentris’ seperti misalnya di Eropa di Abad Pertengahan, pemahkotaan raja bisa-bisa akan dilakukan oleh petinggi Gereja. Dan bermacam lagi ‘tontonan-ritual’ di sekitar singgasana. Bagaimana jika ‘semangat jaman’-nya ‘antroposentris’? Berpusat pada manusia? Yang akhirnya mendorong berkembangnya demokrasi seperti yang sering sekarang kita bincangkan itu? Demokrasi yang mendorong dan juga sebenarnya didorong oleh berkembang-lanjutnya relasi-relasi kekuatan produksi itu?

Maka bagi ‘yang banyak’ adalah penting juga untuk memahami bagaimana ‘grammar’-nya rejim. ‘Tata-bahasa’ yang digunakan oleh rejim. Dan Marx sudah menyarankan untuk lebih menaruh perhatian besar pada bagaimana kekayaan itu diproduksi. Bagaimana relasi-relasi kekuatan produksi itu berkembang. ‘Menaruh perhatian besar’ dalam hal ini adalah untuk menghindari over-deterministik-nya. Maka perhatian juga tidak boleh dilupakan pada soal bagaimana ‘pembagian kekayaan’ itu berlangsung. Atau jelasnya, bagaimana politik itu memberikan pengaruhnya pada ‘pembagian kekayaan’. *** (26-08-2022)

 

[1] Guy Debord, Comments on the Society of the Spectacle, Trnsl. by Malcolm Imrie,  Verso, 1990, hlm. 67

Negara dan "Bahasa Tubuh"-nya (2)