www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-08-2022

Bayangkan kita mendengarkan melodi dengan nada-nada 1-2-3, misalnya. Saat sekarang, now, kita mendengar nada ‘2’ bukan berarti nada ‘1’ itu terus menghilang begitu  saja. Ia seakan mengalami ‘retensi’ dan memberikan ‘nuansa’ saat kita mendengar nada ‘2’ saat ini. Nada ‘3’ meski belum sampai ke telinga, tetapi seakan kita sudah ‘mengantisipasi’-nya saat kita mendengar nada ‘2’. Inilah yang dalam Fenomenologi disebut sebagai ‘waktu internal’ kita. Waktu dalam penghayatan ‘primordial’-nya. Seperti ketika mengantar saudara kita dalam ambulan menuju rumah sakit, rasanya akan berbeda ketika kita sedang ngobrol dengan sahabat. Sampai di UGD, kemudian ditangani oleh dokter jaga, dan kita menunggu di ruang tunggu. Sama-sama 10 menitnya, akan terasa berbeda dengan 10 menit saat kita nonton dagelan. Berbeda dalam hal ‘antisipasi’-nya. Berbeda juga dalam hal ‘sedimentasi’ masa lalu-nya.

10 menit, 1 jam, 1 hari, 1 bulan, 1 tahun, 5 tahun, dan seterusnya adalah ‘waktu oyektif’. Kita janjian jam 5 sore di warung misalnya. Atau setiap 5 tahun sekali pemilihan umum. Seperti di atas, waktu ternyata bisa ‘mulur’ dan ‘mungkret’. Tetapi bukan soal ‘relativitas’ waktu yang dipersoalkan di sini, tetapi  adalah soal ‘sedimentasi-retensi’ dan ‘antisipasi’  dalam 'waktu internal'. Sebab meski semua arloji, semua kalender dimusnahkan dan melenyap, waktu internal itu akanlah tetap ada. Bahkan sebenarnya, ‘waktu obyektif’ yang serba bisa diukur detik, bahkan milidetik-nya itu adalah berasal dari waktu internal. ‘Pelupaan’ akan kondisi seperti ini akan bisa jatuh pada sebuah ‘krisis’. Contoh dalam demokrasi elektoral itu, seakan semua ‘digiring’ dalam jadwal-kalender 5 tahunan saja. Maka ketika jadwal-nya adalah kampanye misalnya, berjanjilah dari  A sampai E, dari F sampai Z. Dan kemudian merasa tidak perlu lagi untuk  berusaha menepati janji, karena nanti toh 5 tahun lagi  akan digelar dendang kampanye lagi. Dan di-antara pemilihan-ke-pemilihan itu, sibuklah kemudian  membangun bermacam ‘sedimentasi’ sehingga ‘antisipasi’ khalayak bukan lagi pada pemenuhan janji-janji kampanye lagi.

Salah satu hal penting dalam ’ranah’ sedimentasi ini adalah soal ‘stereotipe’. Stereotipe (preconceived and oversimplified notion of characteristics typical of a person or group –pertamakali digunakan dengan maksud seperti ini di tahun 1922 oleh Walter Lippman dalam bukunya ‘Public Opinion[1]) yang akan terlibat dalam penghayatan ‘nada’ sekarang, dan bahkan untuk antisipasi ‘nada’  berikutnya. Bermacam ‘stereotipe’ ditebar, sementara janji-janji kampanye tidak hanya dilupakan, tetapi dalam praktek sudah di-takeover secara telanjang. Sudah tidak lagi ‘silent takeover’ –meminjam tulisan Noreena  Hertz [2]. *** (22-08-2022)

 

[1] https://www.etymonline.com/

search?q=stereotype

[2] The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy (2001)

Sungai dan Sedimentasi-nya