www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

21-08-2022

Baru-baru ini, DWTV menayangkan film dokumenter yang kurang lebihnya banyak bercerita soal dampak lingkungan terhadap bermacam spesies. Terutama lingkungan yang sudah ‘digarap’ manusia, dan bagaimana tumbuhan atau tanaman kemudian beradaptasi. Misal lingkungan pantai yang tercemar, atau kota-kota besar yang penuh sesak dengan bangunan beton. Penelitian sampai dengan tingkat genetika-nya. Ataukah itu (tayangan dokumenter DWT) juga bisa dikatakan penelitian soal epigenetik?

Syahdan lingkungan sekitar manusia berubah dengan dahsyatnya, yaitu akibat Perang Dunia II. Di salah satu desa di Belanda sana kemudian terjadi kelaparan yang kronis. Kelaparan kronis itu kemudian memicu munculnya bermacam penyakit. Dan bertahun kemudian ditemukan dalam studi epidemiologis ternyata banyak dari penyakit-penyakit itu diturunkan pada anak-anaknya. Inilah salah satu pemicu semakin berkembangnya studi epigenetik. Bagaimana dengan rute-rute tertentu faktor lingkungan bisa merubah genetik dari spesies. Faktor peran enzim menjadi salah satu fokus penelitian. Sampai sekarang soal epigenetik ini masih terus berkembang. Jadi dalam ‘perdebatan’ soal  ‘nature’ dan ‘nurture’ itu nampaknya perlu ditambahkan soal epigenetik.

Dalam laporan dokumenter DWTV seperti disebut pada awal tulisan, yaitu keinginan untuk menjawab apa dampak bagi spesies lain ketika manusia merubah lingkungan demi kelangsungan hidupnya? Atau bahkan demi memuaskan segala gejolak-hasratnya? Bagaimana jika itu dilihat dari segi epigenetik-nya? Dengan penelitian sampai pada soal struktur gen-nya? Yang akan juga diteruskan pada keturunannya itu? Atau bagimana jika itu sebuah ‘bangunan-benteng’ yang dimaksudkan sebagai lingkar-batas dari ‘zona-nyaman’ kaum oligark, dan dibangun melalui iming-iming KKN itu? Bahkan kalau perlu dengan penggunaan segala macam bentuk kekerasan, dari soal ‘sandera kasus’ sampai penghilangan nyawa kalau perlu? Atau jelasnya, lingkungan dimana kita hidup yang sudah diubah-dibuat sehingga ‘kompatibel’ untuk kepentingan segelintir orang-orang serakah itu. Yang pada dasarnya adalah lingkungan yang menampakkan diri dengan ketelanjangannya melalui ‘dinamika-kronis’ laku ‘rusak-rusak’-an. 'Kelaparan kronis' akan ‘nutrisi’ kehormatan, misalnya. Jika kita berkeinginan punya anak, akankah anak-anak kita melalui diri-kita, melalu gen kita, akan besar dengan karakter model kayak Ngabalin itu? Atau kayak buzzerRp, pollsterRp itu? Atau anak-anak kita nanti akan lihai berbohong, tanpa henti, tanpa beban, dan tanpa kehormatan sama sekali? Lebih lihai dalam gegayaan, sok-sok-an? Atau juga akan mempunyai kecenderungan seperti diungkap Koentjaraningrat 50 tahun lalu itu, suka menerabas, suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh, suka meremehkan mutu tinggi, dan tak berdisiplin lagi? Kecenderungan yang sangat mungkin sudah ada dalam gen kita –akibat ‘kelaparan kronis’ akan hal-hal baik berpuluh-puluh tahun lalu, dan hari-hari ini, bertahun terakhir, malah justru semakin dipupuk saja? *** (21-08-2022)

Kita dan Sekitar