www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-08-2022

Ketika mesin cetak massal Gutenberg ditemukan (tahun 1440), print capitalism-pun ikut berkembang. Ketika Gereja Katolik tergoncang karena reformasi Martin Luther –lahir hampir 50 tahun setelah mesin cetak massal Gutenberg ditemukan, dan kemudian Bible diterjemahkan dalam beberapa bahasa, dicetak dalam jumlah banyak, apa yang disebut Ben Anderson sebagai komunitas terbayang (imagined communities) juga berkembang. Yang nampaknya didorong adanya kesamaan, dalam hal ini: bahasa-bahasa setempat. Negara-bangsa di Eropa itu kemudian seakan mendapatkan ‘modal utama’-nya untuk berkembang, ‘kesamaan’, dan apakah ini juga yang mendorong di tahun 1600-an dalam bahasa Inggris dikenal istilah identity itu? Sekitar tahun 1560-an, masih menggunakan kata idemptitie.[1]

Apa yang bisa kita bayangkan ketika kata ‘identitas’ belum dipakai dalam keseharian? Atau ketika dijejerkan dengan politik? Bagaimana jika tidak ada ‘kategori’ politik identitas ini? Dari beberapa bacaan, istilah ‘politik identitas’ ini barulah secara eksplisit masuk dalam kasanah bahasa sekitar 50 tahun lalu.  Menurut Cressida Heyes (2020), “The laden phrase “identity politics” has come to signify a wide range of political activity and theorizing founded in the shared experiences of injustice of members of certain social groups.[2] Tetapi apakah memang hanya berhubungan dengan ketidak-adilan yang dialami ‘anggota-anggota’-nya? Bukankah kita bisa mengajukan banyak penampakan bahwa politik identitas bisa juga ‘menciptakan’ ketidak-adilan yang justru itu di-‘provokasi’ oleh para ‘anggota’-nya? Amy Chua dalam Political Tribes (2019) di awal menegaskan bahwa, “Humans are tribal.  We need to belong to groups. We crave bonds and attachments, which is why we love clubs, teams, fraternities, family. Almost no one  is a hermit. Even monks and friars belong to orders. But the tribal instinct is not just an instinc to belong. It is also an instinct to exclude.”[3] Dan Amy Chua melanjutkan: “But once people belong to a group, their identities can become oddly bound with it.”[4]

***

Apakah berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa manusia adalah juga spesies ‘pencari makna’? Nampaknya tidak (berlebihan), contoh kecil, adanya pepatah “gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan [.....]”. Macam-macam bisa ditambahkan. Artinya, manusia jika toh akhirnya mati, ia ingin mati tidak dengan ‘sia-sia’. Atau adanya istilah martir, mati syahid, pahlawan, dan sekitarnya itu. Makna menurut Viktor Frankl -yang berhasil selamat-bertahan dari kekejaman holocaust itu, bisa dicari manusia dalam cinta, pekerjaan, dan bahkan dalam penderitaan. Dalam menghadapi bermacam kesulitan di depan mata. Tetapi menurut Manuel Castells, di dunia yang semakin cepat-ringkas ini, identitas bisa-bisa menjadi sumber utama dari pencarian makna. Atau kalau kita bayangkan, ‘jalan cepat-ringkas’ pencarian makna itu: identitas. Yang seakan sudah ‘ready for use’. Seakan tinggal ditelan saja, langsung dapat ‘dikonsumsi’.

Apakah kemudian ‘bermasalah’ ketika makna kemudian dicari dalam identitas? Ini akan menjadi ‘bermasalah’ ketika sumber makna lainnya seakan menguap begitu saja. Karena jika sumber makna lain menjadi terbatas, bisa-bisa kemudian identitas tidak hanya sebatas sebagai sumber makna saja, tetapi bisa berubah menjadi ‘sihir’. Atau menurut Amy Chua, ketika “once people belong to a group, their identities can become oddly bound with it .... [T]hey will sacrifice, and even kill and die, for their groups.” [5] Apalagi jika itu kemudian ‘diramu’ dalam nuansa kuasa. Dengan ‘background’ soal kuasa. Yang sudah dimainken secara ugal-ugalan oleh kaum opurtnis dalam mencari kuasa, misalnya.

Akan lebih mudah membayangkan apa yang disampaikan oleh Victor Frankl jika dilihat melalui Strategi Kebudayaan-nya Van Peursen. Mencari makna di-‘ranah’ cinta seakan berat lebih dalam penghayatan ‘mitis’-nya. Sedang di-‘ranah’ penderitaan, di-‘ranah’ jatung-bangun menghadapi tantangan, seakan berat lebih dalam penghayatan ‘ontologis’. Sedang di-‘ranah’ pekerjaan,  lebih pada penghayatan ‘fungsionil’. Dan menurut Van Peursen, masing-masing ‘tahap’ tidaklah meniadakan satu sama lainnya. Bisa ada dalam diri secara bersamaan. Makna akan memberikan tujuan hidup kita, dan akan nampak melalui bermacam tindakan. Maka jika tindakan itu akan dipengaruhi oleh habitus, ranah (field), dan ‘capital’ (Pierre Bourdieu), makna akan ‘wira-wiri’ dalam ‘habitus’ kita. Tetapi misalnya dalam ‘dunia pekerjaan’, ‘logika-peraturan’ ranah-nya ternyata jauh dari meritokrasi, dan oleh pemegang ‘capital’ tertinggi-nya justru dinampakkan laku nepotisme yang sudah ugal-ugalan, akankah itu juga akan berpengaruh pada ‘habitus’? Termasuk juga mempengaruhi denyut ‘pencarian makna’-nya? Atau bagaimana suatu kerja-keras menjadi begitu bermakna bagi seseorang, tetapi dari hari-ke-hari ia selalu dihadapkan bermacam ‘jalan-gampang’, katakanlah meminjam istilah Koentjaraningrat, ‘mentalitas suka menerabas’ itu? Atau  tertib antri saat berlalu-lintas, tiba-tiba saja ada yang nyelonong tidak tertib. Atau berulang-dan-berulang, ia melihat bagaimana si-pemegang ‘capital’ tertinggi itu berbohong-dan-berbohong seakan sudah tanpa beban lagi? Gegayaan sok-sok-an seakan tidak pernah membuat jejak digital yang berlawanan, dan itu bisa saja segera dibuka oleh khalayak. Pada waktu yang nyaris bersamaan.

Makna yang kita pegang seakan itu ada dalam ‘kendali’ kita –terlebih jika sudah ‘mbalung-sumsum’ dalam ‘habitus’, tetapi dalam praktek karena soal makna ini akan terkait dengan ‘dunia luar’ melalui bermacam tindakan kita, maka sering perlahan kita bisa ‘hilang kendali’. Apalagi jika terlalu sering terjebak dalam ‘kerumunan’. Dalam banyak hal, misal, sudah masuk dalam satu kelompok. Ketika dulu pekerjaan memberikan makna hidup yang begitu berarti, ikut dalam denyut tujuan hidup, tiba-tiba saja yang kemudian maju paling depan adalah soal identitas. Ketika kerja keras memberikan arti hidup yang mendalam, akhirnya tergoda juga untuk mengambil jalan pintas. Ketika dengan mudah saja ‘logika-ranah’, peraturan-peraturan diubah se-enaknya saja demi kepentingan sementara pihak yang secara telanjang berperilaku ‘suka menerabas’ itu. Semau-maunya. Jika mengingat sebuah tindakan akan dipengaruhi oleh habitus, ranah, dan ‘capital’ seperti disebut di atas, maka mengacak-acak ‘ranah’ akan besar yang dipertaruhkan. Juga tentu si-pemegang ‘capital’ tertinggi. Sudah diperingatkan oleh Napoleon, “when small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.” ‘Ke-mediokeran’ dalam pencarian makna adalah ketika ruang-ruang pencarian makna menjadi begitu sempit-nya. “Makna’ kemudian jatuh pada kubangan ‘sihir’ karena seakan hanya tersedia rute ‘mitis’ saja. Sehingga lebih menggoda untuk ditemukan melalui rute 'shortcut'. Terlebih jika ‘latar belakang’ yang sedang kuat-kuatnya adalah soal kuasa. Ketika ketidak-pastian  itu semakin membesar, 'rasa frustasi’ itu seakan menemukan jalannya sendiri. *** (18-08-2022)

 

[1] https://www.etymonline.com/word

/identity

[2] https://plato.stanford.edu/entries

/identity-politics/

[3] Amy Chua, Political  Tribes,Goups Instinc and The Fate of Nations, Penguin Books, 2019, hlm. 1

[4] Ibid

[5] Ibid

 

Identitas, Makna, dan Kuasa