www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

15-08-2022

Judul adalah plesetan dari buku David Elkind, The Hurried Child. Anak-anak yang digegas, karena bermacam pengaruh, baik itu dari media massa, orang tua, atau bahkan dari guru atau sekolah. Mungkin saja kita bisa bicara tidak hanya si-pemegang senjata, tetapi juga politisi, pejabat publik, atau lainnya. Atau bahkan sosok presiden: ‘presiden yang digegas’. Tentu nuansa bahasan akan jauh berbeda dibanding jika kita bicara soal anak (yang digegas). Atau si-‘gunman’ jika itu orang sipil seperti di AS sono, atau Australia, misalnya. Dengan jika itu di tangan aparat, entah itu polisi atau tentara. Tetapi ada kemiripan dalam problematiknya, yaitu soal ‘keterdukungan’. The Hurried Child, atau anak-anak yang digegas menjadi permasalahan karena ia justru ‘ketergegasannya’ itu membuat keropos batu-batu pondasi yang akan dipakainya dalam menjalani hidup-hidup selanjutnya. Batu-batu pondasi sebagai pendukung utama dalam hidup selanjutnya. Sehingga kadang dalam soal ini dipakai istilah ‘layu sebelum berkembang’. Ia menjalani kehidupan selanjutnya itu seakan berjalan dengan ‘tidak/kurang terdukung’. Dalam agrikultur misalnya, dikenal yang namanya tehnik hardening. Jika salah dalam tahap ini bisa-bisa tanaman tidak mampu berkembang optimal dalam kehidupan lanjutannya.

Mungkin ada yang membuat pilihan, pilih mana, orangnya atau sistemnya? Kalau sistemnya berjalan dengan baik maka siapapun orang yang ditempatkan maka hasilnya akan baik pula. Kalau pendapat ini benar, maka bumi dan segala ‘sistem’-nya itu mestinya tidak sampai pada situasi kedaruratan iklim seperti sekarang ini. Memakai pemikiran Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, dan jika sistem digambarkan sebagai garis lingkaran tertutup, dan kita ada di dalamnya, maka penghayatan ‘mitis’ membuat kita ‘tenggelam’ dalam sistem. Bahkan jika sistem itu kita buat sendiri. Penghayatan ‘ontologis’ akan melihat bukan sebagai ‘lingkaran tertutup’, tetapi sudah ‘terbuka’ dan kita-pun bisa mempertanyakan apa sesungguhnya sistem itu, apa yang mau dicapai, dan seterusnya. Penghayatan ‘fungsionil’ membuat kita mampu ‘berinteraksi’ dengan sistem yang sudah ‘terbuka’ itu. Hanya sayangnya menurut Van Peursen, masing-masing tahap mempunyai segi-segi negatif. Tahap ‘fungsionil’ misalnya, sisi negatifnya, ‘operasionalisme’. Katakanlah, sistem kemudian bisa ditelikung demi semata kepentingan dirinya saja. Atau kemudian terjebak dalam mekanisme proseduralisme belaka. Yang mau dikatakan disini adalah, antara sistem dan aktor itu bukanlah pilihan. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana si-aktor itu menghayati sistem tersebut. Maka semakin kompleks sebuah ‘sistem’, atau semakin besar yang dipertaruhkan pada sebuah ‘sistem’, si-aktorpun perlu dipersiapkan dengan sungguh-sungguh sehingga ‘penghayatan’ akan sistem tersebut sungguh dapat ‘terdukung’. Katakanlah misalnya, ‘sedimentasi’ yang ada dalam ‘totalitas dirinya’ akan membuat penghayatan ‘keseharian’ akan sistem tersebut memang sudah sebagaimana mestinya. Bourdieu akan melihat ini sebagai ‘habitus’. *** (15-08-2022)

"The Hurried Gunman"