www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-08-2022

Lifeworld, lebenswelt adalah dunia keseharian kita. Dunia yang serta-merta kita alami, kita hayati dalam keseharian. Dunia yang bagi kebanyakan bahkan term oligarki-pun tidak pernah masuk dalam kesadaran serta-merta itu. Apalagi soal penjelasan tentang kedaruratan iklim, se-saintifik penjelasan apapun itu. Bahkan jika penjelasan diikut-sertakan rumus-rumus fisikanya. Bagaimana jika lifeworld ini ‘hancur-lebur’ karena terjangan badai misalnya. Mungkinkah ini yang disebut Naomi Klein sebagai Shock Doctrine (2007) itu? Dicontohkan oleh Naomi Klein ketika badai Katrina memporak-porandakan New Orleans (2005) itu sungguh membuat shock khalayak, dan digambarkan ‘kesadaran’ khalayak layaknya sebuah kanvas bersih, maka dengan tangkas anak-anak didikan Milton Friedman menggelar program-program neoliberalnya. Hasilnya, salah satunya tiba-tiba saja sekolah-sekolah negeri mengalami penyusutan dan berdirilah sekolah-sekolah swasta, privatisasi. Apakah segala pernak-pernik terbunuhnya Brigadir J baru-baru ini dipandang oleh sementara pihak sebagai shock bagi khalayak, sehingga dengan sigap masuk ‘menungganginya’? Misal, menelusup dengan melempar (lagi) isu soal tiga periode atau perpanjangan jabatan? Atau juga membingkai soal utang itu? Paling kecil, katanya. Boleh-boleh saja mau nunggangi, tetapi jika pakai ‘rute’ Shock Doctrine, segala drama itu belumlah membuat khalayak kebanyakan shock sehingga kasadaran layaknya ‘kanvas bersih’. Bukan shock-lah, jengkel iya. Apalagi ditambah isu atau lemparan omongan tidak mutu itu. Tambah jengkel-lah.

Tetapi bagaimana ketika dunia digital juga sudah menjadi bagian lifeworld, sudah menjadi keseharian yang cenderung taken-for-granted itu? Tak terelakkan. Tetapi bagi Cambridge Analytica, ini adalah ‘celah’ ketika ia mengumpulkan berjuta-juta data pengguna Facebook, yang dengan ‘rute’ tertentu data-data itu digunakan untuk menyusun ‘profil’ atau kelompok-kelompok ‘profil’ dari pengguna Facebook tersebut. Itu sudah dilakukan sekitar 10 tahun lalu, dan di tahun 2016 saat Trump maju dari Partai Republik, itu semua dimaksimalkan sebagai bagian dari kampanye. Tidak hanya Trump kemudian menang, meski tentu tidak semata karena Cambridge Analytica, tetapi dampak dari itu adalah tajamnya keterbelahan dalam sejarah pemilihan presiden AS yang memuncak. Terkuaknya skandal Cambridge Analytica memberikan pelajaran banyak.

Bagaimana jika Cambridge Analytica kemudian menjual bermacam ‘klaster’ profil yang berasal dari gangsiran data-data Facebook itu pada bermacam perusahaan sebagai alat promosinya? Akankah penggemar dari bermacam produk itu akan kemudian akan saling berhadap-hadapan dengan begitu kerasnya? Bagaimana jika itu dilakukan pada fans Persebaya dan sekaligus pada fans Arema? Apakah akan berbeda jika dilakukan saat atau beberapa saat sebelum pertandingan dengan ketika saat jeda kompetisi? Misal isinya berupa hasutan yang sampai pada beberapa fans dengan ‘profil’ psikologis tertentu? Akankah potensi bentrok akan semakin meningkat?

Maka lifeworld bisa dihayati juga sebagai ‘zona aman-nyaman’, tidak hanya karena soal ‘keberakaran’, tetapi ‘akar’ itu menjadikan juga hadirnya ‘rasa aman’. Tetapi benarkan keseharian kita itu lebih banyak karena soal ‘rasa aman’? Hasrat untuk melangsungkan hidup? Bahkan jika itu hanya pada level ‘subsistensi’ saja? Nampaknya ada hal yang perlu diperhatikan dalam ‘dinamika’ lifeworld itu, yaitu adalah soal kuasa. Apalagi soal kuasa ini bisa dikatakan hadir dalam bermacam relasi antar manusia. Dimana lifeworld akan sangat mungkin juga saling membuka diri melalui intersubyektifitas. Soal kuasa yang seakan ada di lifeworld hadir secara on/off, dalam arti munculnya sebagai gejolak tak tertahankan. Menjadi off bukan berarti menghilang, tetapi sudah jadi keseharian tanpa sadarnya. Maka, meski hidup selalu saja wira-wiri dalam dunia ‘subsistensi’ tetapi tetap saja ia kecanduan akan ‘partai marhaen’ misalnya, tidak hilang-hilang juga. Karena selain identitas, di dalamnya ada nuansa lekat akan kuasa. Menjadi on adalah soal gejolak yang menerobos ke permukaan, tanpa adanya refleksi kritis. Dan itulah yang nampaknya dilakukan oleh Cambridge Analytica, seperti sudah disebut di atas. Apalagi jika latar belakang, background-nya adalah pemilihan umum. Kata Carl Schmitt, politik menjadi ada karena pembedaan antara lawan dan kawan.

Lalu apakah yang namanya ‘intelektual organik’ itu misalnya, menjadi tanpa peran dalam hidup bersama? Tetaplah ia berperan besar. Memang ia bisa-bisa saja kesulitan untuk ikut masuk ke lifeworld melalui bermacam intersubyektifitas itu. Mungkin ia akan berhadapan dengan kekuatan besar, misal segala yang ada di belakang ‘Cambridge Analytica’, atau bentuk lainnya. Tetapi Marx-Engels menunjukkan soal proses-proses molekuler. Jika proses-proses molekuler itu tidak tergarap dengan baik maka sang-katalis-pun akan tidak banyak berfungsi. Sebaik apapun momentumnya. Bagaimanapun, selain ‘profil-psikologis’, ada juga faktor ‘sedimentasi’ yang karena intersubyektifitas itu, tiba-tiba saja bisa muncul sebagai ‘kesadaran kolektif’ yang langsung berdenyut di jantung terdalam, soal ‘mempertahankan hidup’ dan soal ‘kuasa’. *** (13-08-2022)

Lifeworld