www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-07-2022

Bukan 'pengawal revolusi' yang dibahas, tetapi ‘pengawal kehormatan’. Dalam ranah negara, siapa yang mempunyai daya ungkit besar sehingga bisa berdiri paling depan sebagai ‘pengawal kehormatan’? Atau jika dibalik, siapa yang mempunyai ‘daya rusak’ terbesar jika kehormatannya menjadi semakin tipis? Jika mengikuti Platon soal ‘tripartit jiwa’ yang kemudian direfleksikan pada urusan polis, apakah golongan pedagang dkk? Atau si-cerdik pandai? Atau para serdadunya? Bagi kebanyakan orang mungkin yang paling mudah terhayati adalah, serdadu. Yang pegang senjata. Bagaimana tidak, jika kehormatan menipis pada yang pegang senjata, kematian bisa terjadi dengan serta-merta, tidak usah mlipir-mlipir kemana-mana dulu. Senjata menyalak, atau sangkur ditebas, darah mengucur dan nyawapun meregang. Tidak usah berkeringat menjadi animal symbolicum dulu. Godaan menggunakan senjata di tangan yang seakan sudah ‘siap-pakai’ itu, salah satu ‘pengendali’ sehingga tidak menjadi ugal-ugalan adalah: kehormatan. Menjadi serdadu terhormat adalah telah ‘lulus’ dalam pengendalian diri, sehingga oleh kebanyakan akan terhayati sebagai: terhormat. Maka ketika yang pegang senjata itu kemudian ber-perilaku semau-maunya, kehormatan-pun akan menjadi semakin tipis, dan hidup bersama-pun akan diliputi oleh kegamangan. Tentu di kalangan cerdik-pandai, atau pedagang dkk itu ada juga soal kehormatan. Yang mau ditekankan di sini, yang mempunyai ‘daya ungkit’ terbesar dalam memberikan ‘suasana kebatinan’ hidup bersama, baik itu ke arah yang benar, atau justru sebaliknya: ‘salah arah’, menjadi berdaya-rusak terbesar karena menipisnya kehormatan.

Tetapi kita juga tidak bisa memberikan ‘cek kosong’ sehingga yang pegang senjata itu bisa sekaligus sebagai ‘pengawal kehormatan’. Terlebih tentara yang senjata di tangan adalah untuk perang, maka mau-tidak-mau latihan bermacam bentuk perang haruslah selalu dilakukan, termasuk biaya latihannya. Latihan, latihan, dan latihan dalam bermacam simulasi perang. Latihan nembak, latihan pukul-pukulan, dan lain-lainnya. Jika itu tidak dilakukan maka bisa-bisa gumpalan ‘energi-perang’-nya itu bisa nyampluk kemana-mana. Bisa-bisa menghantam ke kanan-kiri-depan-belakang. Selain latihan perang, tentu hidup keseharian para serdadu harus juga tercukupi, termasuk juga keluarganya. Juga bagaimana jika nanti masuk usia pensiun. Karena godaan terbesar yang bisa meminggirkan kehormatan itu adalah segala hasrat perut ke bawah, terutama hasrat akan uang.

Lagu saat Perang Dunia I, Old Soldiers Never Die –populer di kalangan tentara Inggris saat itu, rasa-rasanya tidak terhayati hanya saat perang saja. Dalam keadaan normal-pun banyak khalayak masih menghayati ke-serdadu-an meski sudah pensiun. Maka memang tidak mudah bagi mantan serdadu untuk terjun ke dunia politik meski sudah pensiun, terlebih di ranah demokrasi. Apalagi jika masih aktif. Tidak hanya karena ia bertahun hidup dalam nuansa ‘komando’, tetapi sebenarnya ia terjun di ranah yang kadang kehormatan dipinggirkan lebih dahulu. ‘Dipinggirkan lebih dahulu’ bukan berarti dikubur dalam-dalam, dan dilupakan. Bagi khalayak kebanyakan, jika toh setelah pensiun mau terjun ke politik, tetaplah ia akan terhayati sebagai ‘pengawal kehormatan’. Maka ketika ada pensiunan serdadu yang terjun ke politik tetapi menampakkan perilaku yang jauh dari terhormat, berulang-dan-berulang, itu sebenarnya juga berkontribusi besar dalam merusak ‘nuansa kebatinan’ hidup bersama. Dan sekali lagi, godaan itu akan datang dari segala hasrat perut ke bawah, terutama: uang. Lebih merusak lagi jika uang itu datangnya lebih karena kuasa. Runyam. *** (14-07-2022)

Para 'Pengawal Kehormatan'