www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-07-2022

Apakah dinamika perubahan itu didorong lebih karena gejolak eksternal, atau gejolak internal? Atau kalau kita buat perbandingan, apakah ada perbedaan pelajaran yang diambil oleh komunitas yang hidup di Eropa dan Amerika? Atau di komunitas lainnya? Dan apakah benar seperti dikatakan oleh Arnold J. Toynbee, bahwa peradaban itu berkembang karena adanya tantangan dan responnya? Dan diantaranya ada yang disebut sebagai ‘minoritas kreatif’ itu? Atau, bisakah kita ambil sedikit kesimpulan, di belakang ‘ide’ soal minoritas kreatif itu ada sebuah ‘gelombang besar’ datang dari yang banyak, yaitu soal tiru-meniru? Mengapa ‘modus’ tiru-meniru lebih banyak dipakai? Apakah karena seperti dikatakan oleh Hermann Broch, ada yang disebut sebagai kesadaran temaram itu? Twilight-state, yang katakanlah, berkeliaran di antara hal sadar dan hal tak sadar? Atau ada rasa aman ‘tersembunyi’ di balik tiru-meniru itu?

Ada pendapat, menurut Platon, persahabatan sejati itu akan terbangun jika ada ‘pihak ketiga’ yang menjadi perhatian mendalam bersama. Dan ‘pihak ketiga’ itu sebaiknya memang dekat dengan kebaikan. Meski Aristoteles tidak setuju jika itu menjadi satu-satunya bentuk persahabatan, tetapi ia menerima juga pendapat Platon bahwa persahabatan seperti itu memang salah satu bentuk persahabatan sejati. Tetapi Rene Girard, bukan soal persahabatan, tetapi bagaimana hasrat itu kemudian tertuju pada satu hal, yaitu meniru ‘model’. S akan menghasrat O (obyek) karena meniru M (model) yang menghasrati O. Masalahnya adalah pada satu titik tertentu M akan terhayati sebagai rival-nya si-S, terlebih jika M adalah ‘model internal’. Maka untuk menghindari berkembangnya rivalitas yang jika semakin besar akan menghancurkan, diambillah ‘kambing hitam’ itu. Sejarah memberikan pelajaran pada kita, dua ‘rute’ di atas bisa secara nyata berhasil dalam praktek hidup bersama. Baik ketika sejarah menorehkan yang ‘putih’ maupun yang ‘hitam-kelam’. Karena ternyata si-kambing hitam itu adalah jutaan manusia yang harus meregang nyawa, peristiwa holocaust di bagian pertama abad 20 lalu, misalnya. Atau kepedulian bersama akan hal baik itu tiba-tiba saja berubah menjadi kegilaan, chauvinistik itu misalnya.

Ataukah gabungan antara ngibul yang sudah tidak ketulungan –‘pihak ketiga’ yang ditaruh di nun jauh sono, dengan cari-cari kambing hitam untuk ditaruh di meja ‘pengorbanan’? Dan ‘kesibukan’ akibat kombinasi serba bablasan itu adalah sebuah kesempatan luas untuk penggangsiran gila-gilaan, pesta rampok yang seakan sudah tidak berujung itu? ‘Temuan’ Karl Popper tentang ‘dunia-ke-tiga’ itu tiba-tiba saja memberikan kesempatan sangat luas, bahkan gila-gilaan bagi si-story-telling animal (McIntyre). Homo-homini-lupus, manusia serigala bagi lainnya, dalam hal membangun sebuah ‘dongeng’. Sungguh akan menjadi kegilaan di ‘dunia-ke-tiga’-nya popperian itu jika ada yang mengajukan ‘dongeng’ tandingan akan ditangkap. Dipenjara. Di-kriminal-kan. Inilah salah satu puncak kegilaan abad-21. Yang sudah di depan mata. Dan diam saja berarti juga menerima kegilaan menguasai hidup bersama. Kegilaan invasi Rusia ke Ukraina, dari segi kerusakan segala bangunan dan infrastruktur diperkirakan sebesar 750 Milyar dollar. Lebih dari 10.000 triliun rupiah. Belum biaya sosial, biaya kemanusiaan, dan lainnya. Berapa biaya yang harus ditanggung ketika kegilaan terjadi di-‘dunia-ke-tiga’-nya popperian itu? Kegilaan yang mestinya bisa ditahan dengan rute hasrat vs hasrat itu? Mengerikan! *** (12-07-2022)

Dari Pihak Ketiga ke Kambing Hitam