www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

04-07-2022

Hampir 40 tahun lalu, Bruno Demichelis membawa pendekatan baru dalam sepak bola. Ia membawa keahliannya dalam psikologi ke sepak bola melalui Mind Room-nya. Di klub sepak bola, AC Milan. Dan menguatlah legenda-legenda AC Milan waktu itu, sebut saja Franco Baresi, Roberto Donadoni, dan Roberto Baggio.[1] Dengan bermacam trophy yang mampu dikoleksi AC Milan dalam rentang waktu itu. Demichelis sendiri waktu muda adalah atlet karate. Berguru sampai Jepang dan bahkan mengidolakan guru-gurunya. Tetapi dalam satu kompetisi internasional, ia dikalahkan oleh karateka Jepang. Iapun bertanya-tanya, mengapa sampai kalah, padahal ia telah berlatih sama kerasnya dengan atlet Jepang itu berlatih. “Mungkinkah itu masalah mental?” demikian salah seorang temannya berpendapat. Kemudian ia mendalami bidang psikologi sampai dengan meraih gelar PhD-nya. Setelah itu ia berkerja sebagai konsultan di sektor investasi di perusahaan milik Berlusconi. Tahun 1986 Berlusconi membeli AC Milan, dan Demichelis kemudian terlibat di dalamnya, seperti disebut di atas, dengan Mind Room-nya itu.

Dan kita coba bayangkan ‘Mind Republic’. Mengapa tidak? Lima tahun sebelum Mind Room-nya Demichelis itu, Thatcher dalam satu wawancara terkait dengan program-program ekonominya, ia menegaskan bahwa ini bukanlah sekedar soal ekonomi saja, tetapi adalah soal merubah heart dan soul. Hati dan jiwa yang menurutnya akan ‘kompatibel’ dengan program ekonomi neoliberal, program ekonomi yang dimaksudkan sebagai koreksi habis-habisan dari paradigma welfare state pasca Perang Dunia II. Bertarunglah dan jangan mengharapkan negara memberikan pekerjaan. Ambil sepedamu, dan carilah itu kerja, demikian tegas salah satu menterinya. Dan Thatcherpun konsekuen. Nyuruh rakyatnya jumpalitan tapi dia dan kawan-kawannya tidak malah terus sibuk ngunthet-ngutil-nggaglak-korup-kong-ka-li-kong sana-sini. Atau di sekitar 1960-an, Charles de Gaulle meyakinkan rakyat Perancis, bahwa ‘Perancis tanpa kehormatan adalah bukan Perancis’. Dan de Gaulle-pun perlahan mengajak rakyatnya bangkit dari puing-puing Perang Dunia II. Atau jika kita ingat di republik, 12 tahun sebelum Mind Room-nya Demichelis di AC Milan, Koentjaraningrat menerbitkan kumpulan tulisan dalam sebuah buku berjudul Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Mengingatkan lagi salah satu bagian tulisan yang menjadi keprihatinan mendalam Koentjaraningrat –hampir 50 tahun lalu, yaitu adanya (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu; (2) sifat mentalitas yang suka menerabas, (3) sifat tak percaya kepada diri sendiri, (4) sifat tak berdisiplin murni, dan (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[2] Atau yang sering kita dengar soal Jepang. Pasca porak-poranda akibat Perang Dunia II, yang pertama-tama ditanyakan Kaisar Jepang adalah, berapa guru yang tersisa? Meski banyak hal di atas bisa dimasukkan pada ‘ranah kultural’ tetapi segera saja terlihat bagaimana ‘keputusan struktural’ itu nampak dalam proses. Bagaimana keputusan politik dibuat. Dan keputusan politk itupun tidak mesti mewujud sebagai sebuah kebijakan yang ditetapkan melalui perundangan dan peraturan, tetapi juga sebuah perilaku. Apakah ada ‘surat keputusan’-nya sehingga meja-pun menjadi berbeda saat menerima A atau B? Bajupun kadang masuk ranah kuasa. Atau juga ketika di tahun-tahun awal sebagai Kanselir, saat Angela Merkel berkunjung menemui Putin di Moscow. Sudah tahu Merkel itu takut sama anjing –karena pernah digigit waktu muda, justru Putin memamerkan anjing besarnya di depan Merkel. Setelah pertemuan dan ditanyai wartawan soal itu (hadirnya Koni, si-anjing hitamnya Putin), jawaban Merkel enteng-enteng saja. Katakanlah yang mau dikatakan, ‘sok macho-lah kau, nutup-nutupi kelemahan saja sampai minta bantuan anjing’. Mungkinkah di tempat lain, di waktu lain, bukan anjing yang dipamerkan, tetapi para buzzerRp, pollsterRp? Siapa tahu?

Apalagi ‘nuansa jaman’ semakin disesaki oleh bermacam ‘images’ di sana-sini. Maka apa yang disebut keputusan politik itupun salah satu penampakan pentingnya adalah: perilaku. Tidak mengherankan pula di banyak komunitas semakin sedikit yang mau menapak ‘karir’ jalur politik. Karena tidak hanya akan banyak sorotan, banyak tanggung jawab, tetapi juga karena perilakunya menjadi tidak bisa semau-maunya lagi. Untuk itu, laku lempar-lempar bingkisan pada khalayak melalui jendela mobil yang berjalan pelan itu menjadi bukan lagi hal biasa saja. Bisa-bisa itu bukan lagi semata laku seorang tak tahu adat. Tetapi jika itu dilakukan oleh pejabat publik, maka itu adalah juga sebuah keputusan politik. Keputusan di ranah yang lekat dengan kuasa. Langsung atau tidak, akan berdampak pada kuasa. Maka itu adalah juga keputusan yang sangat sah untuk dipertanyakan, apa maunya di balik itu? Dan bagaimana jika dibaca melalui bilik ‘Mind Republic’? Belum lagi ketika dipajang di muka publik sosok yang bicaranya sungguh jauh dari kepatutan itu. Apa yang mau dicapai dari sosok dengan mulut kotor seperti itu? Atau ngibul yang sudah tak tahu batas itu? Dan sekali lagi, bagaimana jika dibaca melalui bilik ‘Mind Republic’? Sedang menebar ‘biji kopi busuk’ sebagai kode-kode kulturalnya (culture code)[3]? Masih banyak contoh lagi yang jika dibaca dari bilik ‘Mind Republic’ bermacam perilaku ndèk-ndèk-an itu, semakin nampak pula seakan tidak sedang dibangun sebuah tim tangguh sepertihalnya outcome dari ‘Mind Room’-nya Demichelis di AC Milan, tetapi sedang dibangun sebuah tim, sebuah komunitas, dinamika rakyat yang ‘kalahan’. Sebuah komunitas yang heart dan soul-nya justru menjadi siap ditaklukkan, yang siap untuk dikuasai. Yang siap hanya sebagai konsumen saja, sebagai pasar saja. Lihat bagaimana keprihatinan Koentjaraningrat 50 tahun lalu itu, melalui bermacam bentuk keputusan politik seakan justru ingin dilanggengkan. Melalui ‘Mind Republic’ itu justru ingin dibangun komunitas yang tetap saja ber-(1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu; (2) sifat mentalitas yang suka menerabas, (3) sifat tak percaya kepada diri sendiri, (4) sifat tak berdisiplin murni, dan (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. Jelas orang-orang di belakang ‘Mind Republic’ itu sama sekali tidak punya rasa patriotisme sedikitpun. Tidak ada. Bahkan kehormatan-pun sudah dikubur dalam-dalam. *** (04-07-2022)

 

[1] https://www.bbc.com/sport/

football/61245521

[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, PT Gramedia, 1985, cet-12, hlm. 45

[3] Clotaire Rapaille, The Culture Code, 2007

Dari 'Real-politik' ke 'Real-Rusak-rusak-an' (3)

 

gallery/merkel-putin-dog-1