www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-07-2022

Bagaimana jika bahasa seperti kita kenal sekarang ini, tidak ada seiring dengan adanya manusia? Akankah real-politik dalam praktek itu akan dekat-dekat dengan gerombolan heyna, atau simpanse-gorila, atau lumba-lumba? Bahkan mungkin tidak akan ada itu real-politik segala, yang ada adalah ‘real-perang’. Jika ada politik, itupun akan hadir beberapa saat saja, saat tantang-tantangan, kira-kira sedang mengukur jika perang sungguhan akan kalah atau menang. Maka bisa dikatakan di sini, karena bahasa-lah politik itu kemudian dimungkinkan ada, baik jika itu memakai istilah real-politik, ataupun ideal-politik. Terlebih bahasa dalam hal ini, pertama-tama untuk mengenal atau mengenalkan siapa kawan siapa lawan. Dan tidak mengherankan pula, seorang politikus tangguh kemudian akan mempunyai kemampuan ‘mendongeng’ yang kuat. Seorang story-teller tangguh. Boneka politik tangguh-pun di belakangnya akan selalu ada tim story-teller yang tangguh pula.

Dari ‘dongeng’ di ‘dunia binatang’ pada awal tulisan, segera nampak bahwa politik sebenarnya berkembang dengan perlahan meminggirkan ‘real-perang’. Bunuh-bunuh-an dalam arti telanjangnya. ‘Meminggirkan’ bukan berarti ‘melenyapkan’. Soal ‘real-perang’ itu seakan ‘ditunda’ lebih dahulu. Maka imajinasi Reformasi itupun sebenarnya sangat rasional, terkait pengembangan politik melalui jalur demokrasi, yang pegang senjata baiknya kembali ke barak, bahasa lain untuk menjadi sosok yang profesional sesuai dengan tugas dan tanggung-jawabnya. Bagi tentara yang dipersiapkan untuk perang, konsekuensinya adalah mutlak untuk dibiayai latihan-latihan perangnya, misalnya. Ketika real-politik kemudian banyak direcoki oleh yang pegang senjata, misal dari yang ‘ringan-ringan’ saja, satu pihak ditangkapi karena bilang A, tetapi pihak lain tidak ditangkap saat mengatakan hal sama, maka pada dasarnya politik, apakah itu yang ‘real’ atau yang ‘ideal’ sama-sama sedang terpinggirkan oleh ‘logika perang’. Maka tak mengherankan pula jika yang pegang senjata itu kemudian banyak masuk dalam ‘gelanggang politik’, situasi ‘kedaruratan’-pun akan selalu dihembus-hembuskan. Apapun itu bentuknya. Karena hanya dalam situasi ‘state of emergency’-lah ‘logika perang’ ini akan dirasakan sah untuk ‘naik ke permukaan’, meminggirkan politik. Maka memang politik tidak bisa lepas dari perang –ia hanyalah ‘menunda’ dengan segala kemampuannya, karenanya dalam politik selain soal ‘dongeng-mendongeng’ ia akan ditentukan pula oleh kemampuan menggertak.

Jika dalam perang ada ‘kejahatan perang’, maka dalam politik pun ada kejahatannya, dan itu, meminjam istilah Camus, bisa dikatakan sebagai ‘kejahatan logika’. ‘Kejahatan perang’ akan berujung pada peradilan perang, sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan, sedang ‘kejahatan logika’ mestinya ada juga ‘pengadilan logika’-nya. Itulah mengapa kebebasan berpendapat mesti mendapat kesempatan seluas-luasnya, paling tidak dalam dunia berpendapat itu, ‘pengadilan logika’ dapat mendapatkan tempatnya juga. Yang ngibul sampai ke akherat-pun akan dihadapkan pada pembongkaran ngibul-nya itu, bahkan di dunia sebelum akherat. Yang keranjingan nipu sana-sinipun akan dibongkar habis-habisan tipu-tipunya. Bahkan akan menjadi ‘guyonan’ habis-habisan. Atau bisa-bisa menjadi bahan ‘hinaan’. Jika soal-soal ini kemudian dibatasi melalui bermacam pasal hukum misalnya, maka pada dasarnya diam-diam asumsi ‘state of emergency’-lah yang sedang dijalankan. Dan jika itu dipaksakan, bukan ‘real politik’ yang sedang berjalan, tetapi ‘real-perang’-lah yang berlaku. Maka semangat Reformasi itu-pun akan sekedar menjadi kenang-kenang-an saja. Tidak lebih dari itu. *** (02-07-2020)

Dari 'Real-politik' ke 'Real-Rusak-rusak-an' (2)