www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-06-2022

Peristiwa pertama terjadi nun-jauh di sana -tahun lalu, di Jerman, menjelang pemilihan, terkait siapa pengganti Angela Merkel yang sudah tidak mau lagi mencalonkan diri. Peristiwanya adalah beberapa saat setelah banjir bandang menghantam salah satu kota kecil di Jerman sono. Merkel sebagai Kanselir mengajak pula teman-teman se-partainya, terutama jago yang sedang dielus-elus oleh CDU/CSU: Armin Laschet. Sebagai kandidat pengganti Merkel.`Merkel menemui korban banjir bandang, dan tidak terus jalan-jalan sendiri di tengah puing untuk ambil sudut gambar kamera. Tidak, jelas ia tidak serendah itu. Sama dengan kebanyakan pemimpin dunia lain, ia menemui warganya yang sedang kesusahan. Sekali lagi, tidak terus berjalan-jalan sendiri untuk ambil gambar kamera. Ia, jelas tidak serendah itu untuk mengambil keuntungan di tengah-tengah orang sedang kesusahan. Secara vulgar, apalagi bahkan sebenarnya jika itu dilakukan, jalan-jalan sendiri untuk ambil gambar kamera –tidak hanya vulgar tetapi juga: brutal.

Yang menjadi isu di sini bukan soal Merkel menemui warganya yang sedang kesusahan, atau mengajak rekan-rekan se-partainya. Itu juga akan dilakukan oleh pemimpin-pemimpin dunia lainnya. Tetapi, sekali lagi, tidak secara vulgar, apalagi brutal, misal dengan berjalan-jalan sendiri ‘bermain solo’ di tengah puing atau bekas kebakaran untuk ambil sudut gambar kamera. Bolehkah itu? Bolehlah. Etis? Jelas tidak! Dan itu jugalah nuansa kritik terhadap Armin Laschet, ‘putra mahkota’ CDU/CSU yang digadang-gadang menggantikan Merkel. Laschet yang berdiri di belakang Merkel bersama rombongan kecil itu, nampak tertangkap kamera sedang bersenda-gurau saat Merkel memberikan keterangan pers sekaligus di depan warganya yang tertimpa bencana. Mengapa hal seperti itu kemudian ‘bermasalah’? Tentu ada konteksnya. Tetapi apakah sekedar masalah konteks, sedang dalam suasana duka misalnya? Masalah ‘empan-papan’? Toh Laschet tidak menggunakan kesempatan itu untuk jalan-jalan ‘solo’ dengan diikuti tim sorot kamera.

Sebagian besar khalayak itu dari hari-ke-hari akan disibukkan oleh ‘urusan’-nya masing-masing. Bangun tidur, mandi-makan, pakai pakaian kerja, dan berangkat kerja misalnya. Yang lain juga punya kegiatan rutin. Sehari-hari. Masalah bagaimana negara-bangsa dikelola hampir tidak akan masuk dalam perhatian kesehariannya. Apakah kemudian khalayak itu kemudian bisa dibilang ‘a-politis’? Tidak tahu sama sekali hal-ihwal politik? Tidak-lah. Dalam kadar berbeda-beda, khalayak pastilah akan meluangkan waktu untuk melihat negara-bangsanya. Yang sedang terjadi, atau sedang baik-baik saja atau tidak. Kesibukan sehari-hari dalam menjalani hidup itulah yang memungkinkan si-‘jumlah sedikit’ kaum politisi itu bisa diterima keberadaannya. Politisi yang jika memenangkan pemilihan akan mengelola negara-bangsa dalam kurun waktu tertentu. Kongkretnya, yang akan memerintah melalui pembuatan undang-undang dan eksekusinya. Yang akan menggerakkan polisi jika diperlukan. Bahkan menyatakan perang. Dan banyak lagi. Maka dinyatakan atau tidak, dalam ‘imajinasi kolektif’ tidaklah terlalu salah jika dikatakan ada suatu standar-standar tertentu yang sebaiknya ada dalam diri para politisi, si-‘sedikit jumlah’-nya itu. Dari standar kepatutan sampai bermacam lagi standar lainnya. Yang kalau memakai istilah Adam Smith: golongan famous sect. Menjadi ‘agung’ karena telah menjalani jalan panjang penuh keutamaan. Maka jangan salahkan khalayak jika menjadi begitu ‘sensitif’, bahkan jika itu ‘hanya’ terkait dengan perilaku. Seperti kasus Laschet itu. Atau terhadap yang keranjingan ‘jalan solo’ di tengah bencana demi sorot kamera. Sekali-dua kali, okelah kalo begitu. Jika terus ‘keranjingan’ maka khalayak pembayar pajak-pun berhak muak juga. Di atas disinggung terus soal itu adalah salah satu ekspresi dari kemuakan saja. Tidak ada maksud lain kecuali: muak. Kembali ke Laschet, apakah karena kasus sendau-gurau di tengah bencana itu yang membuat Laschet kalah dalam pemilihan? Mungkin banyak faktornya, tetapi bandingkan dengan yang sekarang menjadi Kanselir itu, Olaf Scholz, sekilas memang ‘glècènan’-nya Laschet kena batunya.

Peristiwa kedua adalah ketika Jokowi diskusi dengan Megawati di kantornya Megawati, dan Puan Maharani malah sibuk merekam momen itu dengan HP-nya. Etiskah itu? Peristiwa ketiga adalah ketika ada pejabat yang suka lempar-lempar bingkisan ke rakyat-nya dari atas mobil. Siapa yang akan membela rakyat? Bukankah ada ‘protokol (kerakyatan) tak tertulis’ bagaimana caranya bingkisan pada rakyat itu sebaiknya diberikan? *** (23-06-2022)

Tiga Peristiwa