www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-06-2022

Tetapi bukankah ‘intelek organik’ dalam bermacam ranah (Bag. 2) sebenarnya bisa disebut sebagai ‘intelektual tradisional’? Tetapi, benarkah di bermacam ranah itu juga tidak ada ‘perjuangan kelas’? Pendapat Carr, lima tahun setelah Wikipedia hadir di dunia maya patut diperhatikan :” “Implicit in the ecstatic visions of Web 2.0 is the hegemony of the amateur. I for one can’t imagine anything more frightening. Hanya saja kali ini kita lihat bukan soal amatir atau tidaknya, tetapi soal hegemoni. Pada jaman Yunani Kuno, hegemonia didapat karena prestasi, misal komandan pulang kampung dengan membawa kemenangan dalam perang. Begitu hegemonia ada dalam genggaman maka ia bisa berubah menjadi arché, yang berarti kontrol, dan selalu hirarkis sifatnya. Sekali arché ditetapkan maka merawat, menjaga hirarki ini menjadi tujuan utamanya.[1] Hirarki ini adalah juga soal ‘batas’. Bahkan bisa-bisa sebuah ‘batas’ yang tidak boleh dilanggar. Ketidak-boleh-an untuk dilanggar ini jelas akan mengganggu ‘intelektual organik’ di dalamnya, karena ia selalu akan ‘tergoda’ untuk memajukan ‘batas’. Kegigihan para ‘intelektual organik’ dalam upaya ‘menerobos’ batas inilah mungkin yang disebut sebagai ‘minoritas kreatif’ oleh Toynbee. Ketika bermacam ‘batas’ itu dihayati sebagai tantangan. Menurut Toynbee, peradaban berkembang karena adanya tantangan dan respon. Diantara tantangan dan respon itu ada ‘minoritas kreatif’, dan yang lain akan meniru keberhasilan respon dari si-‘minoritas kreatif’.

Meski ‘jalur pendidikan formal’ banyak tergambarkan di Bagian 2, bukan berarti pula kaum intelektual itu mesti menapak jalur pendidikan formal. Tidak selalu. Yang lebih penting adalah soal aksi-refleksi. Bahkan jika itu dihayati sebagai trial and error sekalipun, yaitu ketika dengan itu P2 dirasa ‘lain atau bahkan lebih maju’ dari P1 –problem awalnya, misalnya. Yang juga tidak kalah penting adalah keterbukaan untuk dibuktikan salah. Sebagai yang ‘bukan ilmuwan’, bagaimanapun kita kadang bisa melihat kemiripan-kemiripan. Dan kemiripan-kemiripan itu pada satu titik bisa terhayati sebagai sama. Dan dengan itu pula bermacam imajinasi bisa berkembang. Liarnya imajinasi bisa ‘dikendalikan’ dengan mengkomunikasikan dengan imajinasi-imajinasi lain. Atau kembali dikonfrontir dengan realitas yang ada. Artinya, bukankah itu juga suatu sikap yang siap untuk ‘dibuktikan salah’? Maka ada satu hal yang krusial, baik itu rute metode saintifik yang rigid, atau yang dimulai dengan ‘intuisi’: intersubyektifitas. *** (10-06-2022)

 

[1] https://www.pergerakankebang

saan.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/

Rejim dan 'Ensiklopedia'-nya (3)