www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

05-06-2022

Malanglah sebuah komunitas ketika para pemimpinnya banyak yang asal njeplak di depan publik. Seakan politik itu adalah: tipu-tipu. Tentu dalam politik pastilah ada unsur tipu-tipunya, tetapi soal kehormatan-lah kemudian tipu-tipu itu menemui batasnya. Maka ketika politik dihayati sebagai tipu-tipu, memang pelan-pelan kehormatan itu akan ‘dibunuh’-nya. Lihat bahkan tipu-tipu-nya sudah terkuak habispun masih bisa cengengesan. Terbiasa mendengar yang asal njeplak pada dasarnya dalam waktu yang sama sedang menyaksikan terjadinya ‘pembunuhan’ terhadap kehormatan. Charles de Gaulle dalam memimpin Perancis bangkit dari puing-puing Perang Dunia II berseru: “Perancis tanpa kehormatan bukanlah Perancis.” Atau lihat sebaliknya, para pemburu rente itu berseru lantang: “Republik tanpa kehormatan adalah surga bagi kita!”

Maka segera nampaklah bagaimana kegilaan hasrat itu memang sedang dimaksimalkan. Tidak hanya ‘pengendalian’ hasrat lewat rute hasrat vs hasrat saja yang dibonsai, dikerdilkan, dilumpuhkan –lembaga legislatif, yudikatif, pers, bahkan sosial-mediapun diawasi misalnya, tetapi andalan lain: kualitas diri-pun sedang dibenamkan. Bahkan seakan kita sedang melihat balapan ‘Formula M’, berlomba-lomba untuk menjadi ‘medioker’. Berlomba-lomba menuju ke dasar, ke dalam ‘kegelapan’. Tetapi bicara kehormatan tentu harus dibicarakan juga ‘bablasannya’: gila hormat.

Beberapa waktu setelah dua pesawat menabrakkan diri pada gedung kembar WTC 20 tahun silam, ada perdebatan bahkan kemarahan ketika si-pembajak yang bunuh diri itu disebut ‘pemberani’. Benarkah predikat ‘pemberani’ itu adalah suatu hal yang ‘netral’?[1] Jika keberanian itu adalah sebuah keutamaan (virtue) maka sebenarnya itu akan melibatkan pengetahuan, hal ‘timbang menimbang’. Maka ketika bom bunuh diri itu melukai bahkan menewaskan orang-orang yang tidak tahu apa-apa, jelas pula itu (orang-orang tak bersalah) tidak masuk dalam hal timbang-menimbangnya. Pemberani? Tidaklah. Demikian juga bablasan kehormatan itu: gila hormat, jelas pula dalam hal ini soal timbang-menimbangnya sudah sangat mengecil. Sudah sangat mengkerut, mungkret.

Apa yang mau disampaikan di sini adalah, ketika ‘pembunuhan’ kehormatan itu berlangsung berulang dan berulang, tidak hanya ‘sekarat’-nya kehormatan, tetapi juga akan ikut ‘sekarat’ juga: akal sehat. Hal ‘timbang menimbang’ itu. Jika dalam gambar besar kita memakai istilah ‘soft power’ dan ‘hard power’, retaknya ‘soft power’ dalam hidup bersama ini akankah kemudian ‘hard power’ menjadi lebih mudah diterima? Atau dalam konteks geopolitik internasional, retaknya ‘soft power’ ini akan membuat ‘penguasaan-penaklukan’ menjadi lebih mudah? Maka, ternyata asal njeplak, asal mangap, itu bukan sekedar lucu-lucu-an lagi, bukan sekedar tipu-tipu yang sudah tak tahu batas. Ternyata begitu besar yang dipertaruhkan. *** (05-06-2022)

 

[1] Bahasan menarik soal ini lihat, Linda B. Rabieh, Plato and the Virtue of Courage, The John Hopkins University Press, 2006

Ketika Menjadi Terbiasa Mendengar Yang Asal Njeplak