www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-04-2022

Apakah ranah politik bisa terjerembab dalam krisis? Jika bisa, apakah karena input, atau masukannya lebih suka menapak jalan ‘fake famous[1], jauh seperti dibayangkan Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiments (edisi terakhir) sebagai ‘famous sect’ itu? Bisa jadi. Ataukah proses-proses politik selanjutnya menggambarkan jawaban dari pertanyaan Machiavelli (dalam Sang Penguasa), apakah anda sedang berusaha jadi raja atau sudah jadi raja? Sebab menurut Machiaelli, soal merebut kuasa itu bisa berbeda dengan saat menggunakan kuasa. Atau saat proses-proses politik selanjutnya itu justru menjauh dari sikap prudence? Atau rakyat disuguhi oleh bombardir rudal asal njeplak, asal mangap, asal-asalan dari kaum politisinya? Ada yang ringan tangan dengan menggunakan kekuatan kekerasan, tetapi ada yang tipenya ringan mulut. Pada dasarnya sama-sama lekat dengan kekerasan. Sama-sama ujungnya akan menekan-menghambat potensi berkembangnya khalayak. Dan menurut Galtung, itu adalah sebuah kekerasan juga. Tetapi bagi khalayak kebanyakan, terlebih yang maunya ‘menjaga jarak’ terhadap politik praktis, keluaran atau output, atau tepatnya outcome-nyalah yang sering lebih terhayati. Makanya ada istilah benevolent dictatorship. Aneh memang, tetapi ada tuh istilah seperti itu. Tetapi jika mengingat pendapat Carl Schmitt, bahwa konsep negara-bangsa modern itu adalah sekularisasi dari konsep teologi, tidak terlalu aneh-aneh juga. Ada ‘arketipe’ yang memang di kedalaman sana ngendon tak mau hilang-hilang.

Jika ada yang sedang di ranah pendidikan atau kesehatan (juga mungkin di ranah lainnya), maka akan kenal dengan istilah akreditasi. Jika diamati lebih jauh, bermacam ‘pasal-pasal’ dalam penilaian akreditasi bisa dipilah dalam bagian input, proses, dan output-nya. Jika ranah politik kita nilai seperti proses penilaian dalam akreditasi, dan itu untuk menunjuk kemungkinan sebuah krisis sedang berjalan, dan berangkat dari apa yang kemungkinan banyak terhayati oleh kebanyakan warga, di-outputnya, apa ‘kriteria’ penilaiannya? Di republik maka itu ada dalam Pembukaan UUD 1945. Yaitu jika ranah politik gagal dalam (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Ranah politik jelas akan lekat dengan kuasa, dan di ranah negara, kuasa itu salah satu bentuk paling mudah dihayati adalah kuasa negara. Menurut Laski, karakter sebuah negara hanya akan bisa dihayati melalui pemerintahannya. Maka adalah tepat, seperti ditulis dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang ... (ke-empat hal di atas). Pemerintah negara Indonesia itu dibentuk melalui jalan politik, dan bukan perang. Maka politik di republik bisa dikatakan tidak lepas dari ke-empat hal di atas, seperti tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4. Yang paham ini, orang seperti Ngabalin misalnya, dengan lemparan ucapan di ruang-ruang publik seperti itu-itu, tidak akan dipakai. Sama sekali tidak mencerdaskan kehidupan bangsa. Mungkin ada yang berpikir, itu adalah salah satu ‘taktik’ kuasa. Tetapi di republik, apa-apa yang disepakati di Pembukaan UUD 1945 itu mestinya dihormati. Dan sayangnya, banyaaak lagi contoh lainnya. Di ‘ranah’ ke-empat hal, seperti disebut di atas. Makanya: krisis. *** (30-04-2022)

 

[1] https://www.pergerakankebang

saan.com/905-Serasa-Influencer-1/

Empat Krisis Dalam Politik