www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-04-2022

Bagaimana ‘rute’ gejolak relasi-relasi kekuatan produksi bisa melahirkan bermacam kekerasan? Pada jaman doeloe sekali, kerakusan kekuatan produksi itu ditengarai tidak hanya ‘pemain solo’ semata. Banyak yang mengatakan itu ‘kombinasi’ dari god, glory, dan gold. Mungkinkah benar yang dikatakan MacIntyre, bahwa secara esensial manusia itu adalah story-telling animal? Ia tidak hanya pembuat sebuah cerita, tetapi terlebih adalah aku ada dimana dalam cerita itu. Peranku dalam cerita itu. Untuk adanya saja bahkan manusia ‘butuh cerita’. Ataukah bisa dikatakan, manusia adalah juga ‘pencari makna’? Abraham Maslow beberapa tahun setelah Revolusi Bolshevik melempar teori hirarki kebutuhannya. Berangkat dari Maslow, maka akan jadi repot jika manusia ‘bekerja sesuai kemampuan, mengkonsumsi sesuai kebutuhan’. Apalagi ketika ‘masyarakat konsumsi’ itu merebak.

Tetapi peringatan Marx kiranya banyak benarnya juga, selain menandaskan untuk lebih memperhatikan dinamika gejolak dalam relasi-relasi produksi, pada saat yang sama memperingatkan juga keliaran bermacam story yang beredar di ‘dunia atas’. Karena sebenarnya, apapun story, isi, dinamika gejolak di bangunan atas itu akan sangat ditentukan oleh gejolak dalam relasi-relasi produksi. Karl Popper sedikit ‘menjinakkan’ soal ‘bangunan atas’ ini, katanya, itu adalah bagian dari ‘dunia ke 3’, dan tidak selalu isinya hanya diproduksi oleh relasi-relasi kekuatan produksi. Popper mungkin sedang jengkel-jengkelnya dengan over-deterministik sejak Bolshevik itu. Demikian juga dengan banyak koleganya di Mont Pelerin Society (MPS) –berdiri segera setelah Hitler runtuh, kelompok pemikir yang begitu ‘bencinya’ dengan segala yang serba terpusat, terlebih ‘ekonomi terpusat’. Dari kelompok ini jugalah neoliberalisme mendapat ‘gizi teoritis’-nya secara berkelanjutan. Atau dalam kata-kata Thatcher sekitar 45 tahun lalu, buku von Hayek –salah satu pentolan MPS, ia banting di atas meja dan ia berseru: “Inilah yang kita percayai!” Dari hal-hal di atas, nampaknya banyak benarnya apa yang dikatakan seorang rabbi Yahudi yang juga seorang filsuf itu, Abraham J. Heschel (1967), teori tentang bintang tidak akan mengubah esensi bintang itu sendiri, tetapi teori tentang manusia sangat bisa mempengaruhi dan menentukannya.

Dari bermacam hal di atas, cobalah kita tunda dulu, dan kita kembali ke halnya sendiri: wajah lebam, darah mengucur, dan bahkan untuk berjalanpun harus dipapah. Dari segala arah nampaknya ia sudah dihajar. Oleh massa. Jika ia kemudian ke dokter tentu ia akan segera diobati, siapapun pasien itu, bahkan jika pasien dengan gangguan kejiwaan sekalipun. Setelah kedaruratan di atasi, maka si dokter akan melengkapi pemeriksaan, termasuk juga riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit keluarga, juga tak lupa jika punya sejarah alergi terutama alergi obat-obatan. Jika punya riwayat diabetes misalnya, tentu akan mendorong perhatian khusus. Juga pemeriksaan tambahan lain, foto rontgen, jika perlu scan otak, terutama jika banyak luka di sekitar kepala.

‘Menunda’ bermacam hal seperti di atas adalah sebuah ‘kemewahan’ tersendiri, karena sebagian besar hidup kita adalah taken-for-granted saja. Sebagian besarnya. Dan sebagian besarnya mungkin apa yang disebut Michael Polanyi sebagai ‘pengetahuan tersembunyi’ (tacit knowledge) sebagai ‘pendorong’ utamanya. Begitu saja terjadi? Apa yang membuat itu terjadi? Sulit untuk mengatakan. Dan salah satu yang mendasar dalam hidup bersama adalah soal ‘ke-tidak-adil-an’. Soal rasa-merasa, soal ‘cita’ tentang ke-tidak-adil-an. Lihat salah satu eksperimen pada anak-anak kecil, hanya bisa ‘merengut’ sambil mèwèk nangis tersedu-sedu ketika ia diperlakukan tidak adil.

Ketika ketidak-adilan terus menerus berulang dan berulang, kebanyakan orang bisa-bisa jatuh pada situasi ‘hipokognisi’, ketika kata ‘tidak-adil’ itu sudah tidak muat lagi mewadahi perasaan. Jika itu yang terjadi, maka ‘spiral kekerasan’ akan semakin membesar potensinya. *** (12-04-2022)

Jalan Dua Arah