www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-03-202

Bahkan sebagian besar kaum borjuis-pun perlu ‘habitat’ untuk ‘menikmati’ hidup. Lihat akibat invasi Rusia ke Ukraina, apakah itu kaum proletariat atau kaum borjuis sama-sama banyak mengungsinya ke negara-negara tetangga. Mari kita sebut kaum borjuis itu sebagai ‘kaum mapan’ saja, kaum (sudah) ‘kepenak’ dalam hidup karena kerja keras, karena berkeringat. Akankah ia kemudian tidak bisa menikmati ‘enaknya hidup’, katakanlah well being-nya, karena terjadi perang seperti di Ukraina itu misalnya? ‘Kaum mapan’ memang ‘lebih mudah diancam’ dibanding dengan kaum ‘proletar’, jika dilihat dari potensi kehilangannya. Tetapi sejarah juga memberitahu kita, ‘revolusi kaum mapan’ itu bisa juga se-dahsyat ‘revolusi proletariat’. Bahkan bisa dikatakan, lebih ‘berkelanjutan’.

Salah satu masalah yang perlu diperhatikan adalah seperti ditunjukkan oleh Paulo Freire, kerentanannya untuk jatuh pada sebuah fanatisme. Semestinya dengan sudah lepas dari ‘jerat pemenuhan kebutuhan dasar’-nya, ia lebih berpotensi menjadi ‘kaum kritis’. Tetapi jika pemikiran kritis tidak berkembang, menurut Freire, katakanlah ‘kaum mapan’ ini, dan terlebih yang hidup di kota-kota, akan mudah jatuh pada sikap fanatik. Bagi yang tahu persis potensi kekuatan ‘kaum mapan’ ini, maka adalah penting kelompok ini didorong pada sikap fanatik, apapun ‘isi’ ke-fanatik-annya asal tidak melawan rejim saja. Apapun itu. Mungkinkah ini terkait juga dengan ‘hirarki kebutuhan’-nya Maslow? Bahkan kalau perlu calon-calon ‘kaum mapan’-pun digarap pula, salah satunya, mahasiswa.

Jika pertumbuhan ekonomi tidak bisa meninggalkan sisi konsumsi maka soal ‘daya beli’ adalah kuncinya. Dan pada dasarnya, ‘kaum mapan’ akan semakin ‘mapan’ dan semakin banyak ‘anggota’-nya jika daya beli semakin kuat di banyak kalangan. Termasuk juga di sini daya beli ‘kaum proletar’. Maka bisa dikatakan, ‘musuh utama’ dari ‘kaum mapan’ ini adalah siapa-siapa yang membuat daya beli di banyak kalangan justru menciut. Terserap secara ugal-ugalan hanya pada segelintir kalangan saja. Jaman doeloe, banyak terserap di kalangan ‘kaum bangsawan’. Saat jaman feodalisme masih kuat-kuatnya. Apa yang disebut sebagai ‘Ford-isme’ (diambil dari nama Henry Ford) tidak akan berhasil jika daya beli pekerjanya tidak ditingkatkan. Demikian juga soal petani-petani di Jepang. Maka baik ‘kaum mapan’ maupun ‘kaum proletar’ sebenarnya sama-sama mempunyai ‘musuh bersama’: feodalisme. Sama-sama berkeringat, sama-sama bekerja keras, tetapi akhirnya harus terbentur-bentur dengan dinding-dinding feodalisme yang begitu rakusnya. Rent seeking activities itupun jika ditelusuri ‘DNA’-nya, bisa-bisa juga sampai ke feodalisme.

Nuansa feodalisme tentunya akan beraroma kuat soal relasi-relasi patron-klien. Ada pepatah yang mengatakan bahwa apa yang kita kerjakan secara terus-menerus itu akan juga membentuk kita. Maka aktor-aktor utama dalam alam feodalisme ini bisa-bisa juga akan begitu mudahnya melompat masuk dalam relasi patron-klien ini, dimana ia dalam posisi si-klien-nya. Intinya, bisa dengan mudah minta perlindungan pada patron yang lebih kuat asal bermacam keistimewaan yang sudah diperolehnya tetap masih bisa dinikmati. Meski tidak 100% lagi, tentunya. Tidak semuanya mau lompat menjadi klien memang, tetapi pada titik tertentu bukannya tidak mungkin. Maka jika dirasa-rasa suasana feodal justru semakin kuat, mestinya dan terlebih ‘kaum mapan’ yang berkeringat dan pekerja keras, harusnya sudah mulai mendengarkan alarm deteksi dini-nya. Habitat tempat hidupnya bisa-bisa berubah penuh kemuraman jika tidak hati-hati. Terlebih di dalam suasana panas-dinginnya situasi global yang semakin sulit diprediksi ini. *** (26-03-2022)

Kaum Borjuis Bersatulah!