www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-03-202

Jika meminjam istilah Cardoso –salah satu tokoh teori ketergantungan, pakta dominasi primer, pakta dominasi sekunder itu rasa-rasanya bisa kita hayati sebagai hadirnya ‘kuasa tanpa wajah’, dalam hal ini: kapitalisme. Mungkin juga tidak mengherankan jika ‘bapak’-nya kaum kapitalis, Adam Smith, menyinggung soal keutamaan (virtue), mungkinkah Adam Smith sedang berusaha memberikan ‘wajah’ pada kuasa dahsyat itu? Bahkan Adam Smith-pun membedakan keutamaan ‘sekedarnya’ bagi kebanyakan orang, tetapi tidak bagi ‘femous sect’.

Bagi Levinas, wajah bukan sekedar asesori paling unik bagi manusia. Tetapi dalam relasinya dengan wajah-wajah lain, seakan wajah-wajah yang lain itu ‘menuntut’ kita untuk ikut bertanggung jawab terhadapnya. Tatap muka itu bukan hanya sekedar tatap muka, tetapi ada masalah etik di situ. Dan masalah etik akan selalu melibatkan dua hal, hal timbang-menimbang dan latihan.

Kuasa dalam konteks ini adalah ketika kuasa ada di tangan manusia. Manusia yang menurut Nietzche, ‘axis mundi’-nya ada di hasrat untuk berkuasa. Kuasa yang sebenarnya juga ada di bermacam relasi antar manusia, dalam bermacam bentuknya. Mestinya bicara kuasa di tangan manusia, ia adalah ‘kuasa dengan wajah’. Tetapi sejarah memberitahukan pada kita, sering dengan berjalannya waktu kuasa bisa perlahan kehilangan wajahnya. Atau menurut Lord Acton (1833-1902), power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Atau kalau kita meminjam istilah Cardoso di awal tulisan, bisa juga kuasa kehilangan wajahnya jika kuasa ternyata ada dalam ‘pakta dominasi sekunder’. Ia benar-benar hanya ‘tunduk’ pada yang menggenggam ‘pakta dominasi primer’. Kasus di Wadas Purworejo beberapa waktu lalu, dan juga sebenarnya di banyak kasus lainnya, menggambarkan dengan jelas.

Menghilangnya ‘wajah’ kuasa bisa dibayangkan akan menghilangkan pula ‘relasi etis’ dari pemimpin dan yang dipimpinnya. ‘Yang lain’, atau katakanlah yang dipimpin itu menjadi tidak dirasakan lagi sedang ‘menuntut’ sebuah tanggung jawab. Dalam praktek: se-mau-mau-nya. Tipu-tipu dalam politik tentu sebagian besarnya akan selalu hadir dalam bermacam bentuknya, masalahnya adalah soal batas. Dan batas ini juga salah satu dari sebuah tanggung jawab atas ‘yang lain’ yang terus menggelitik. Jika sudah tidak tahu batas, pada dasarnya ia, pemimpin itu, sudah tidak merasakan lagi hadirnya tanggung jawab terhadap ‘yang lain’ itu, yang sedang dipimpinnya. Nipu seakan tiada ujung, asal njeplak, asal mangap, mbudeg-micek, dan sekitarnya itu kemudian berulang dan terus berulang tanpa beban lagi karena yang dihadapi serasa bukan wajah manusia lagi. Hanya angka-angka statistik belaka. Yang sangat mungkin dimanipulasi, semau-maunya. Atau bahkan lebih buruk lagi.

Dalam situasi seperti ini, bisa-bisa akan mudah terjerembab dalam ‘spiral kekerasan’[1]. Dan ‘the year of living dangerously’ bisa-bisa akan tayang ulang. *** (25-03-2022)

 

[1] https://www.pergerakankebang

saan.com/894-Spiral-Kekerasan/

Saat Kuasa Kehilangan Wajah