www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-03-2022

Menurut Carl Schmitt di bagian awal abad-20, konsep negara-bangsa modern adalah sekulerisasi dari konsep teologi. Jika Schmitt benar maka tidak berlebihan pula jika dikatakan bahwa konsep teologi bisa-bisa terus membayangi konsep negara-modern itu. Dan penghubung utamanya adalah aktor-aktor utama dalam ranah negara-bangsa modern itu. Aktor-aktor di ranah negara-bangsa yang tiba-tiba saja merasa mendapat kesempatan untuk menjadi Tuhan. Nampaknya Schmitt saat itu lebih bicara tentang atau dalam konteks daratan Eropa dengan segala perjalanan sejarahnya. Maka kitapun bisa membayangkan, misalnya, siapa yang tidak ingin mempunyai ‘kekuasaan’ layaknya Paus di ranah negara-bangsa modern itu? Godaan yang jelas tidak kecil, mengingat katakanlah ‘DNA’-nya negara-modern itu seperti dikatakan oleh Schmitt, merupakan ‘modifikasi’ dari konsep teologi. Dan jalur ‘modifikasi’-nya adalah ‘sekulerisasi’. Atau katakanlah, ada semacam ‘arketipe’ yang terus menggelitik.

Maka bermacam ‘menara Babel’-pun bisa-bisa silih berganti bermunculan dalam bermacam bentuknya, supaya semakin mendekat untuk menjadi Tuhan. Hasrat menderu tak tertahankan lagi untuk menjadi ‘pusatnya dunia’, axis mundi. Bahkan jika mungkin, menjadi pusatnya sejarah jika nantinya akan ditulis oleh generasi sesudahnya. Tentu dengan segala litani kebesarannya. Maka yang membedakan satu dengan lainnya bermacam ‘menara Babel’ itu adalah bagaimana potensi nalar manusia digunakan secara optimal. Hal timbang-menimbang sehingga tidak jatuh dalam kegilaan hasrat untuk menjadi Tuhan itu. Nalar yang tidak diabdikan pada bangunan ‘kejahatan logika’, tetapi untuk menghadapi gejolak dahsyat kegilaan hasrat. Bahkan ‘kejahatan hasrat’. Hasrat yang menurut Spinoza adalah merupakan hal esensial dari seorang manusia. Maka tidak mudah memang, dan tidak akan ada yang mengatakan itu mudah.

Masalah tambah rumit ketika ada sebagian pihak, memilih jualan air minum di antara ‘surga’ dan ‘neraka’. Artinya, entah yang akan dieksploitasi itu adalah ‘surga’ atau ‘neraka’ yang penting adalah: untung. Maka di sinilah peran penting dari seorang pemimpin, atau seorang ‘filsuf raja’ dengan segala keutamaannya. Ia akan berusaha keras untuk tidak menjadi ‘mainan’ dari yang suka jualan air minum di tengah jalan antara ‘surga’ dan ‘neraka’ itu. Jika sukanya gegayaan sok-sok-an saja, bisa-bisa serasa sedang menebar ‘surga’, tahu-tahu ‘neraka’-lah yang dituainya. Tak jauh dari cerita ‘menara Babel’ itu. Di tengah kegilaan ‘ambil untung’, kehancuran di depan mata. *** (23-03-2022)

Carl Schmitt dan IKN