www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

07-03-2022

Move on’ sebagai ajakan terus melanjutkan hidup akan lebih mujarab dalam hidup’privat’. Tetapi dalam hidup ‘publik’ masalahnya bisa menjadi penuh komplikasi. Semestinya masa lalu adalah sebuah pelajaran, bahkan pelajaran sangat berharga. Semestinya masa lalu adalah gerak perluasan horison yang terus menerus meluas bahkan sampai masa sekarang. Dan juga di masa depan. Tetapi sayangnya, masa lalu kadang ‘dipilih’ justru sebagai ‘senjata mematikan’. Masa lalu kemudian menjadi sumber tak terbatas bagi berkembangnya ‘kejahatan logika’, meminjam istilah Albert Camus. “Kejahatan logika’ yang pada ujungnya bisa dengan mudahnya berubah menjadi ‘kejahatan hasrat’ seperti disaksikan Camus dalam dua perang dunia. Perang Dunia I yang mengendap semasa kecilnya melalui matinya sang ayah dalam perang, dan Perang Dunia II yang disaksikannya secara langsung ketika beranjak dewasa.

Teori tentang bintang tidak akan mengubah esensi dari bintang, tetapi teori tentang manusia akan bisa begitu berpengaruh terhadap eksistensinya,” demikian Abraham J. Heschel dalam Who Is Man? (1965). Dan masa lalu bisa menjadi bahan tak terbatas untuk membangun sebuah ‘teori’ tentang manusia. Atau sekelompok manusia. Bahkan bisa juga menjadi ‘akar’ dari keberadaannya. Dicabut dari masa lalu seakan dicabut seakar-akarnya. Tetapi bukankah kita juga bisa ‘menaruh’ akar hidup kita dalam harapan? Jika ini tidak mungkin, bukankah agama akan tidak ada juga? Ideologi-pun akan juga mengering? Tetapi bukankah bermacam harapan itu juga bisa sebagai sumber tak terbatas dari bermacam ‘kejahatan logika’? Bagaimana dengan masa sekarang? Lihat, yang katanya ‘memotret’ kondisi sekarang dalam bermacam survei itu, oleh pollsterRp bangsat-laknat-keparat bisa dengan mudah dipermainkan, dan sekali lagi, bisa juga menjadi bahan yang tak terbatas bagi berkembangnya ‘kejahatan logika’. Maka tidak hanya masa lalu yang berkhianat, atau tepatnya: dikhianati. Tetapi juga masa depan dan bahkan masa sekarang.

Siapa sebenarnya ‘pengkhianat utama’-nya? Sejarahwan dengan segala kemampuan dan kode etiknya, ia akan berusaha menjauh sejauh mungkin mengkhianati masa lalu. Para surveyor bermartabat akan selalu berusaha untuk tidak mengkhianati masa kini. Para futurolog dengan segala data yang ada ia berusaha menguak masa depan. Dan bermacam profesi lainnya, yang sungguh akan berpikir dua kali untuk melakukan pengkhianatan. Tetapi bagi sebagian (banyak?) politisi, ia bisa dengan ringan-ringan saja mengkhianati baik masa lalu, masa kini, ataupun masa depan. Bagaimana kita bisa ‘mengendus’ politisi yang katakanlah, ringan tangan terhadap ‘waktu’ itu? Enteng-enteng saja mempermainkan masa lalu, dan ringan-ringan saja ngibul soal masa depan? Tidak lain hanyalah bagaimana ia menghayati masa kini, masa yang sedang dialami bersama. Politisi yang ringan-ringan saja ‘mempermainkan’ masa kini maka ia dengan ringan-ringan saja pula akan mempermainkan masa lalu dan masa depan. Karena politisi selalu akan ada dalam bayang-bayang kuasa, maka iapun akan ringan-ringan saja mempermainkan kuasa ‘hari ini’.

Maka pertanyaan Kaisar Jepang pasca hancur lebur akibat Perang Dunia II –salah satunya, berapa guru yang tersisa? Masa depan memang menjadi imajinasi yang menggerakkan, tetapi itu hanya bisa menggerakkan hanya jika fakta hari ini diterima dengan segala dayanya. Masa depan menjadi menggerakkan karena memang harus diantisipasi. Tidak mudah soal ‘masa kini’ itu, karena masa depan bisa kita bayangkan sambil ‘ngopi’, atau masa lalu bisa kita obrolkan sambil minum teh, sedangkan masa kini, tiba-tiba saja sudah menjadi masa lalu se-detik lalu. Tentu rentang waktu bisa mulur-mungkret, yang mau disampaikan di sini adalah, ‘godaan’ masa lalu maupun masa depan itu memang lebih mengasyikkan. Bahkan bisa-bisa menjadi ladang subur bagi para demagog. Ladang subur bagi ‘industri alih isu’. Apalagi jika itu kemudian dikait-kaitkan dengan ‘identitas’. Bisa sampai kemana-mana. Maka, politisi atau katakanlah kuasa, hanya kuasa yang tidak mempermainkan masa kini-lah sebenarnya yang mempunyai hak-bicara ‘berbasis kuasa’ untuk bicara soal masa lalu dan masa depan. Dan sebenarnya itu adalah soal kepercayaan, trust. Kuasa tanpa basis kepercayaan adalah tiran. Akan semau-maunya. Yang andalan utamanya pada akhirnya, sejarah mencatat, adalah kekuatan kekerasan. *** (07-03-2022)

Masa Lalu Yang Berkhianat