www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-02-2022

Akankah sejarah di abad 20 akan berbeda jika tidak ada GULAG? Bagi yang menghadapi gelapnya GULAG, itu adalah sebuah kengerian. Tetapi GULAG akan terhayati seperti apa bagi para pendukung komunisme-stalinisme abad 20, misalnya? Atau kita bayangkan ada kupu-kupu terbang di Siberia sana waktu itu, jangan-jangan butterfly effect-nya pun bisa melintas jauh. Jauh sekali. Bisa-bisa akan terjadi badai besar pula di tempat nun jauh itu. Bukan kamp lagi, tetapi killing field misalnya. Menurut Abraham J. Haeschel dalam Who Is Man? (1965), teori tentang bintang tidak akan merubah esensi dari bintang itu sendiri, tetapi teori tentang manusia akan sungguh mempengaruhi adanya manusia. Dan bagaimana jika GULAG misalnya, kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari satu teori tentang manusia? Sadar atau tidak. Masuk sebagai tacit knowledge, misalnya. Atau juga misal, survival of the fittest? Atau ‘teori’ lainnya?

Ketika surga-neraka menelusup masuk dalam kesadaran kita, sadar atau tidak, itu akan mempengaruhi bermacam tindakan kita. Bermacam keputusan kita. Kadang dorongan utamanya adalah soal ‘hadiah dan hukuman’ yang membayang. Dan tidak ada larangan untuk itu. Bagaimana dengan suatu hidup bersama dalam suatu ranah yang katakanlah disebut sebagai ‘negara modern’ itu? Yang menurut Carl Schmitt sekitar se-abad lalu, konsep negara modern itu sebenarnya merupakan sekularisasi dari konsep teologi? Tentu Schmitt lebih bicara soal daratan Eropa dengan segala sejarah yang sudah ditapaknya. Modernisasi yang juga disinggung oleh Broch dikaitkan dengan pendapatnya soal ‘kesadaran remang-remang’ itu –twilight state. Yang katakanlah ‘kepastian yang menyangga situasi sekitar’ sebelum ‘era modern’ itu mengalami keretakan besarnya. Ketika ‘negara kitab suci’ kemudian bergeser menjadi ‘negara berdasarkan hukum’, misalnya.

Maka semakin nampaklah peran penting dari sebuah mahkamah konstitusi. Kepak sayap kupu-kupu di Jl. Medan Merdeka Barat  6 Jakarta Pusat itu bisa-bisa mendorong sebuah badai bagi warga desa Wadas di Purworejo sana, misalnya. Atau menggelembungnya bermacam kecurangan-kecurangan itu. ‘Dewa Prometheus’ yang ada di balik dinding-dinding mahkamah konstitusi itu sebenarnya sangat bisa berperan dalam mencegah seorang individu jatuh begitu saja menjadi ‘manusia massa’. Hakim di pengadilan bisa memberikan ‘ketakutan’ bagi seorang pencuri, penyelundup, perampok, pengedar obat terlarang, bahkan juga seorang pembunuh. Dan siapa yang akan memberi ‘ketakutan’ terhadap yang pegang angkatan bersenjata? Yang mengelola ribuan triliun rupiah aset-aset negara? Yang bertanggung jawab terhadap nasib ratusan juta warga? Terhadap segala kekayaan alamnya? ‘Ketakutan’ di ranah ‘negara berdasarkan hukum’ itu? Maka ketika mahkamah mahkamah konstitusi (mk) itu sudah berubah menjadi mp (mata-picek), keretakan hidup bersama akan sungguh membayang di depan mata. Tendo achilles ‘negara berdasarkan hukum’ itu seakan sudah terputus. Mereka terlalu banyak micek dengan segala yang dipertaruhkan. Bangsat-lah. *** (10-02-2022)

Kupu-kupu Dari Medan Merdeka Barat 6