www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

05-02-2022

Apa yang disebut sebagai 'histeria massa' jelas bukan gejala akhir-akhir ini saja. Beberapa pemikir yang menaruh perhatian soal massa ini bermunculan sejak abad 19-an dan awal abad 20-an, ada Le Bon, Hermann Broch, Elias Canetti, bahkan juga Sigmund Freud-pun berpendapat. Dan masih banyak lagi di periode selanjutnya. Dalam hidup bersama, ‘manusia individu’ yang kemudian berubah menjadi ‘manusia massa’ pada suatu saat seakan tidak terelakkan. Bermacam faktor ikut andil dalam ‘perubahan’ ini. Sejarah menunjukkan bahwa ‘manusia massa’ ini bisa-bisa berujung pada kelamnya sejarah. Lalu bagaimana hal yang tak terhindarkan ini bisa ‘ditahan’ untuk kemudian tidak menghitamkan sejarah yang ditapaknya sendiri?

Gramsci membedakan ‘perang manuver’ dan ‘perang posisi’, dan dalam politik menurut Gramsci, sekali ‘perang posisi’ dimenangkan, it has been won definitively. Bahkan misalnya, bisa ‘menang’ terus menerus dalam kurun lebih dari tiga dekade, misalnya. Dalam ‘perang posisi’, apa yang disebut Gramsci sebagai ‘intelektual organik’ mempunyai peran pentingnya. Dan pada titik inilah salah satu titik bidik dari ‘massa mengambang’ ataupun juga ‘histeria massa’ seperti dalam judul tulisan, massa yang dijauhkan dari ‘intelektual organik’-nya. Dan jika mengikuti Hermann Broch, bukannya massa sebenarnya tetapi individu-individu yang ‘dijauhkan’ dari para intelektual organik yang mana merupakan satu bagian penting dari ‘dewa Prometheus’ itu.[1] David Korten (2004) menggambarkan bagaimana pentingnya ‘perang posisi’ ini, dia menuliskan: “We humans live by stories. The power of the right-wing comes not from their number, which are relatively small, but from ability to control the stories by which we answer three basic question. How do we create prosperity? How do we achieve security? And how do we find meaning? By monopolizing the stories by which we answer these questions, they define and control the political debate to advance an imperial agenda.”[2] Apa yang digambarkan oleh David Korten ini jelas sedang terjadi ‘pengkerdilan’ potensi, sebab menurut Broch, manusia bukanlah ‘cek-kosong’, tetapi ia mempunyai banyak sekali kemungkinan intelektual. Jelas jauh lebih luas dari pada sekedar soal nama-nama ikan, misalnya.

Jika kita lihat pembedaan tiga jenis rejim misalnya, monarki, aristokrasi, dan demokrasi maka sebenarnya itu tidak bisa dijelaskan tanpa melihat lebih dalam bagaimana ‘pengelolaan massa’-nya. Bagaimana ‘yang banyak’ itu terkelola. Semestinya dengan berkembangnya modernisasi, demokrasi akan menjadi lebih berkembang. Tetapi masalahnya, apa yang disebut Broch sebagai twilight state (kesadaran remang-remang) itu ada baik manusia hidup di rejim monarki, aristokrasi, maupun demokrasi. Bahkan ‘kesadaran remang-remang’ di era modernisasi ini bisa-bisa terhayati lebih chaotic karena bermacam ‘pegangan pasti’ sebelumnya (sebelum modernisasi) sudah mengalami keretakan besarnya. Bagi para ‘penikmat rejim’, terutama ketika ada di era demokrasi, godaan untuk kembali ke rejim monarki atau aristokrasi akan sangat besar, karena dalam rejim monarki atau aristokrasi, ‘yang banyak’ itu akan lebih mudah untuk dikelola. Bahkan jika ia harus berubah menjadi tirani atau oligarki sekalipun. Misal di jaman old itu, untuk bisa masuk di kalangan para ‘bangsawan’-pun sudah disediakan tiga jalurnya, A, B, dan G. *** (05-02-2022)

 

[1] https://www.pergerakankebang

saan.com/871-Mengapa-Rendra/

[2] https://davidkorten.org/balle-renewing-the-american-experiment/

Dari 'Massa Mengambang' Ke 'Histeria Massa'?