www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-02-2022

Jiwa adalah gerak yang sangat dipengaruhi oleh hasrat akan pengetahuan, kebanggaan, dan hasrat akan uang, makan, seks. Demikian kira-kira menurut Platon. Tergambarkan ada di kepala, dada, dan perut ke bawah. Hasrat-hasrat itu mestilah ‘dididik’ sehingga gerak jiwa kemudian memang akan terarah ke ‘kebaikan dewa-dewa’. Korupsi, jika kita berandai-andai, bukankah salah satu bentuk ‘tidak terdidik’-nya hasrat akan uang itu? Soal seks, terlalu banyak contoh ketika ‘tidak terdidik’ dengan benar. Atau makan? Bagaimana munculnya bermacam penyakit karena hasrat akan makan ini juga seakan ‘tidak terdidik’ dengan benar. Nepotisme kiranya tidak akan lepas dari hasrat akan kebanggaan, dan itu salah satu bentuk atau keluaran dari ‘tidak terdidik’-nya hasrat akan kebanggaan. Lainnya misal, yang sering kita kenal sebagai chauvinisme itu. Atau juga misal istilah ‘post power syndrome’ itu. Kolusi? Nalar justru lebih diabdikan pada otak-atik untuk mencari kesempatan dalam kesempitan, pat-gu-li-pat, kong-ka-li-kong, misalnya. Macam-macam.

Tetapi mengapa kita tidak pergi ke tengah hutan saja, dan kemudian bertapa mematikan segala hasrat untuk kemudian semakin mendekatkan diri ke ‘kebaikan dewa-dewa’? Tentu itu adalah pilihan. Atau misal sebagian kelompok Kristen Mennonite yang mendirikan kampung mereka di tengah-tengah hutan Amazon? Tetapi berapa yang akan memilih jalan itu? Ataukah Sang Ratu Adil akan turun untuk ‘mendisiplinkan’ segala hasrat itu? Atau bahkan semacam ‘kediktatoran proletariat’, misalnya? Atau kediktatoran ‘partai tunggal’? Ataukah satu hasrat akan ‘ditabrakkan’ dengan hasrat lainnya? Hasrat vs hasrat itu? Ataukah ada rute ‘sublimasi’ tertentu ala freudian? Atau lainnya? Dengan bermacam mitos, misalnya. Atau bermacam larangan-tabu. Atau ‘kombinasi’ hal-hal di atas untuk ‘mendisiplinkan’ gejolak hasrat itu? Tidak mudah memang dan tidak ada yang akan mengatakan itu mudah-mudah saja soal ‘mendidik hasrat’ itu. Apalagi menurut Spinoza, hasrat adalah esensi dari seorang manusia.

Dalam banyak hal, hasrat yang dimaksud di atas adalah lebih ada di atas ‘kebutuhan dasar’-nya dalam hirarki kebutuhan Maslow. Hasrat akan makan yang dimaksud di atas bukan semata karena respon ‘tubuh’ terhadap lapar saja, misalnya. Bukan juga keinginan mendekat pada api ketika kedinginan. Katakanlah itu adalah lebih pada insting. Binatang juga akan melakukan itu. Fanatisme misalnya, ditunjukkan oleh Paulo Freire bahwa itu bisa lebih terjadi pada yang sudah ‘selesai’ dengan kebutuhan dasarnya. Lalu bagaimana ‘pendidikan hasrat’ itu dikembangkan? ‘Pendidikan hasrat’ mestilah penting diperhatikan karena kita sebagai manusia, tidaklah mungkin menghilangkan hasrat-hasrat itu.

Pertanyaan terkait dengan luasnya ‘pendidikan hasrat’ ini, mungkin ada baiknya kita ajukan, apa yang ber-‘daya-ungkit’ besar bagi berkembangnya atau bahkan sebaliknya, ‘mungkret’-nya ‘pendidikan hasrat’? Sebelum menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita mengajukan pertanyaan, bagaimana ‘pendidikan hasrat’ itu sebagian besarnya akan berlangsung? Kembali disini kita singgung lagi ‘teori segitiga hasrat’-nya Rene Girard, yang menandaskan bahwa seseorang, ‘subyek’ (S) hanya akan menghasrati sesuatu, ‘obyek’ (O), adalah karena meniru (mimesis) dari ‘model’ (M) yang juga menghasrati O. ‘Hasrat meniru’ ini nampaknya tidak hanya ada pada manusia, tetapi juga binatang. Bahkan kita bisa melihat betapa ‘ahli’-nya anak-anak kita dalam hal meniru ini. “Man is the creature who does not know what to desire, and he turns to others in order to make up his mind. We desire what others desire because we imitate their desires,” demikian tegas Girard.

Hasrat akan kuasa nampaknya bisa dilihat sebagai yang berdaya-ungkit besar. Bagaimana dengan hasrat akan uang, hasrat akan kekayaan? Pada titik tertentu hasrat akan uang ini akan bisa sampai dengan apa yang disebut Leo Strauss sebagai ‘Machiavelli yang menua’, atau dalam kata-kata B. Herry Priyono, ‘Machiavelli menumpuk harta’. Artinya pada saatnya akan menjadi begitu ‘merepotkan’ ketika ia sudah bersentuhan dengan ‘hasrat kuasa’ itu, karena tiba-tiba saja bertumpuknya harta itu menjadi ‘berdaya ledak’. Apalagi sudah diingatkan oleh Thomas Hobbes bahwa soal kuasa ini tidak hanya soal ‘menumpuk harta’ tetapi juga katakanlah ‘mengamankan’ apa-apa yang sudah ditumpuk itu. Kalau kita kembali pada pendapat Rene Girard, bukankah ‘hasrat meniru’ ini juga akan ada dalam diri si-kuda hitam dan si-kuda putih? Meniru ‘model’: si-sais, dalam Alegori Kereta Perang-nya Platon? Jika ‘gagal’ menghadirkan ‘kambing hitam’ maka bisa-bisa ujungnya adalah si-kuda putih merebut tali kendali si-sais, atau bahkan juga si-kuda hitam. Atau bahkan kong-ka-li-kong antara ke duanya? Karena dalam hal ‘tiru-meniru’ ini akan muncul sebuah ‘rivalitas’, terutama jika ‘model’-nya adalah ‘model internal’. ‘Kambing hitam’ yang menurut Girard adalah ‘upaya bersama’ sehingga rivalitas antara M dan S menjadi tidak menghancurkan. *** (02-02-2022)

KKN, 'Jiwa' Yang Tak Terdidik? (1)